Jumat, 30 Desember 2011

Biarkan Perbedaan Menebar Berkah-Nya

Di tengah perkembangan zaman yang kian modernis dan global, yang di tandai dengan galaknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia dituntut untuk bisa mengimbangi roda kehidupan yang melaju begitu kencang dengan arah yang beraneka ragam.  Spesifikasi-spesifikasi bidang keilmuan, baik agama, sosial, politik dan sederet bidang lainnya yang kian riuh menjamah kehidupan telah membuat teori keilmuan tumbuh bercabang-cabang dengan garis edar dan ruang lingkup yang kompleks.
 Disadari atau tidak, pertumbuhan ilmu berikut cabang-cabangnya yang sedemikian pesatnya secara tidak langsung telah membuka lebar-lebar medan baru bagi ruang gerak perbedaan di kalangan umat manusia. Baik pola pikir dan cara pandang seseorang dalam menanggapi suatu hal, kesemuanya akan banyak dipengaruhi oleh background keilmuan yang telah ia geluti. Yang tentunya akan berakibat pada terciptanya gemuruh perbedaan pandangan yang berbanding lurus dengan riuh teori keilmuan di kalangan kaum modernis.   
Layaknya teori hukum alam yang menyimpan dua nilai berbeda dan saling bertolak belakang, yaitu negatif dan positif. Perbedaan pun juga demikian.  Di satu sisi ia dapat berakibat negatif, dan di sisi yang lain ia bisa berpotensi positif. Perbedaan akan bernilai negatif disaat manusia tidak lagi arif dalam memaknai perbedaan. Kefanitikan terhadap sebuah pandangan, keyakinan bahwa apa yang menjadi pandangannya adalah suatu kebenaran mutlak, bahkan sampai pada motif melejitkan popularitas terkadang membuat jiwa kita enggan bertemu perbedaan, mengesampingkan nilai-nilai toleransi dan menganggap salah siapa saja yang tak sewarna dan bersimpangan dengan kita. Jika telah demikian, maka bukanlah kebenaran hakiki yang didapat melainkan mulai terkikisnya hubungan silaturrahmi yang bersahabat dan kian menumbuhkan bibit permusuhan antar sesama.
   Perbedaan pemahaman syariat–syariat ubudiyah di kalangan penganut NU dan Muhamamdiah, jika tidak disikapi dengan bijak tentunya akan membuat mereka sulit untuk mencapai titik temu yang akan menyatukan mereka. Namun itulah yang terjadi saat ini. Perbedaan penetapan hari raya Idul Fitri, ada atau tidaknya tahlilan, qunut, ziarah kubur dan lainnya, ternyata telah menambah renggang jarak antara dua paham tersebut dan tentunya akan memancing pesona syaitan untuk menyuarakan permusuhan di antar mereka. Yang kesemuanya itu tiada lain disebabkan oleh terlepasnya makna perbedaan yang esensial dari benak mereka. Itulah contoh nyata (real example), betapa perbedaan akan memecah belah golongan jika ia tak lagi dapat arif menyikapinya.
Perbedaan akan berpotensi positif dikala kita sedikit mau untuk membuka mata terhadap realitas kehidupan yang nyatanya kita sendiri terlahir dari perbedaan. Ayah dan ibu selaku orang tua kita adalah dua jenis yang berbeda. Itu berarti bahwa kita harus bersikap bijaksana jika bertemu perbedaan, terlebih perbedaan itu berhubungan dengan keyakinan atau kepercayaan. Maka, sikap arif memang diperlukan agar kita terbebas dari prasangka buruk kepada sesama.
Adanya pria dan wanita, profesi kerja yang berbeda antara satu dan lainnya serta  pertumbuhan ilmu pengetahun dan teknologi yang beraneka ragam telah cukup menjadi bukti betapa perbedan banyak menimbun berkah yang indah bagi siapa yang bisa menyikapinya. Jika saja Allah hanya menciptakan wanita tanpa seorang pria, menjadikan manusia dalam satu profesi yang sejenis dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang hanya satu bidang; akankah kehidupan ini akan berjalan berkesinambungan dan saling melengkapi?, tentu tidak akan mungkin !!. Maka biarkan perbedaan menebar berkahnya sebagaimana aliran air sungai yang senantiasa mengobati dahaga penduduk saat airnya mengaliri sebuah perkampungan.
Untuk mendapatkan angka sepuluh tidak harus lima ditambah lima. Tiga dan tujuh, empat dan enam, bahkan satu dan sembilan pun juga dapat menghasilkan nilai akumulatif sepuluh. Artinya, sebuah kebenaran tidak hanya memiliki satu jalan yang menjadi akses agar dapat sampai pada kebenaran yang esensial. Tapi untuk mencapai kebenaran, Tuhan bentangkan berpuluh-puluh bahkan beribu-ribu jalan yang berbeda dan beraneka ragam, yang dengan itu semua kita berhak untuk menentukan jalan mana yang harus kita lalui. Lantas apa yang membuat kita kita tetap “candu” dengan cekcok perbedaan yang pada kenyataannya itu tidak akan membuat kita menjadi sama.
Perbedan tidak perlu dicela karena perbedaan bukanlah hal hina yang tidak memberi buah terhadap kehidupan. Sesuatu yang hina pun, misalnya, daging babi, khmar, bangkai, jika disikapi dengan benar akan menghasilkan manfaat yang bisa dipetik. Dan perlu kita ketahui bersama bahwa pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan saat ini, adalah perbedaan yang menjadi salah satu faktor penyebabnya. Jadi, untuk bisa menggali berkah dari perbedaan, lagi-lagi sikap dan respon kitalah yang banyak menentukan; apakah perbedaan akan menjadi rahmat (Al-Ikhtilafu Rahmatun), atau hanya akan menjadi sebab perpecahan (Al-Ikhtilafu Firqatun), sebagaimana yang terjadi saaat ini. Sikapi perbedaan dengan bijaksana, terima keberadaannya di tengah-tengah kita dan tetap tebar senyum manis antar  sesama meski berbeda. Karena nyatanya perbedaan itu indah seindah pelangi dengan akumulasi warna yang perbeda-beda. Wallahua’lam.
Written by Alfarobi
31 Desember 2011


Kamis, 29 Desember 2011

Pencetak Inovasi, Kreasi untuk Modernisasi dan Pengarah Globalisasi


Era globalisasi dan modernisasi adalah era di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat, penuh inovasi dan kreasi.  Hidup di zaman seperti saat ini adalah sebuah tantangan besar, sebuah masa yang hanya memberi kesempatan bagi mereka yang siap dan mau bertahan serta berusaha berbekal ilmu pengetahuannya.  Tidak hanya mengikuti dengan menjadi follower pasif, tetapi mengikuti dalam artian menjadi seorang yang aktif dan kritis. Aktif untuk senantiasa menjadi orang yang berilmu pengetahuan dan expert di bidangnya, aktif berkontribusi serta kritis dalam menanggapi setiap perubahan/ perkembangan. Dengan demikian, Ia tidak hanya menjadi konsumen sekaligus korban globalisasi dan modernisasi. Ia akan mampu memfilter mana produk modernisasi yang bermanfaat dan mana yang tidak.
Disadari atau tidak, di samping manfaat dan berbagai kemudahan yang dijanjikan, globalisasi serta modernisasi saat ini merupakan suatu candu bagi masyarakat.  Ia adalah sebuah bentuk perang pemikiran yang dikemas sedemikian rupa, bertopeng sebuah kemajuan peradaban dan selalu diagung-agungkan dengan berbagai slogan, mulai dari hiburan, fashion, teknologi, bisnis hingga pendidikan sekalipun.  Entah mengapa semua itu bisa  memberikan daya sugesti  yang besar bagi masyarakat, utamanya bagi kaum remaja dan anak-anak.  Hal yang spele untuk dibahas, tapi hal ini akan menimbulkan masalah yang cukup besar bagi bangsa umumnya dan bagi generasi Islam khususnya. Budaya baru yang pada hakikatnya tidak sesuai dengan pribadi bangsa dan hukum Islam telah banyak dikonsumsi, bahkan menjadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dan dijalankan.
Tidakkah pernah kita berpikir tentang maraknya pola makan dengan makanan fast food dan junk food?? Pola makan yang sangat tidak sehat, makanan-makanan tersebut adalah bibit penyakit (kanker, tumor, diabetesmilitus,obesitas, dll). Sehingga tidak heran jika saat ini, perkembangan ilmu penyakit  juga semakin pesat.  Selain itu, bagaimana dengan pola hidup saat ini, utamanya pola berpakaian. Hm.., nampaknya inilah yang menjadi objek utama modernisasi “fashion”.  Dewasa ini, dunia entertaiment yang fokusnya di fotografi dan model tengah menggembar-gemborkan busana muslim sebagai ikonnya. Berbagai desain busana muslim serta krudung yang entah berkiblat ke mana menjadi trend yang tak boleh terlewatkan oleh para remaja putri.  Busana muslim??? Nampaknya kurang tepat jika dikatakan seagai busana muslim karena ia masih memperlihatkan setiap legukan tubuh pemakainya. Berbagai trend krudung yang masih transparan dan memperlihatkan bagian dada juga tengah menjadi topik utama dalam dunia remaja putri.
  Tidak hanya itu saja, ketika akses internet dengan seambruk alamat web serta contain-nya menjadi jajanan yang siap dikonsumsi oleh siapa saja tidak terkecuali anak-anak. Ironisnya, ketika terdapat banyak berita adanya pelecehan seksual dan sex bebas yang dilakukan oleh anak-anak penyebab utamanya adalah dari internet. Fenomena yang sangat memprihatinkan..!! Masalah yang telah dipaparkan sebelumnya hanyalah segelintir masalah di zaman ini. Jika kita menoleh ke dunia luar di kota-kota besar, akan kita dapati banyak sekali cerminan tentang kronisnya masalah-masalah di zaman globalisasi dan modernisasi ini.
Perlu kita ketahui bersama bahwa korban utama dari masalah kemiskinan, masalah pendidikan, masalah moral, dan sederet masalah lainnya yang semakin mencapai titik nadir ini adalah para generasi penerus. Baik mereka yang notabene-nya sebagai pelajar maupun anak jalanan dan pengangguran. Para remaja dan anak-anak, mereka adalah para generasi penerus yang merupakan aset berharga, tumpuan harapan dan  penerus perjuangan. Mereka harus diselamatkan..,
Kekuatan, perubahan dan kemajuan hari esok ada pada kita sebagai pemuda. Senyum mereka yang tidak pernah mengenyam manisnya pendidikan dan indahnya menata impian, ada pada kita.  Kita yang tengah menuntut ilmu di lembaga pendidikan, kita yang tengah berjuang mengejar impian masa depan adalah tumpuan harapan. “Because we are the agent of  change”.
Sebagaimana hukum alam, segala sesuatu memiliki dua sisi. Begitupula dengan globalisasi dan modernisasi, selain dampak negatif yang ditimbulkan, dampak positif pun masih banyak yang bisa kita manfaatkan. Tapi tidak menutup kemungkinan kita juga akan menjadi korban kejamnya globalisasi dan modernisasi.  Maka dari itu, dengan ilmu pengetahuan, kita akan aktif dan kritis. Marilah kita berikan senyuman dan bersahabat dengan setiap perkembangan dan perubahan, tentunya berbekal iman, moral dan ilmu pengetahuan serta keahlian sesuai dengan bidang kita. Bukan kita yang dicetak modernisasi dan terikut arus globalisasi, tapi kita adalah pencetak inovasi, kreasi untuk modernisasi dan pengarah globalisasi.  Tidak ada istilah terlambat untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Salam semangat untuk pemuda harapan..,

Written by: Naili  
                 30 Desember 2011

Jumat, 23 Desember 2011

ARGUMENTUM AUCTORITATIS MENYUMBAT PERTUMBUHAN BERPIKIR KRITIS


Argumentum Auctoritatis adalah suatu kesesatan yang timbul dalam penalaran akibat menerima atau menolak sesuatu tidak berdasarkan nilai penalarannya, tetapi berdasarkan pada siapa yang mengemukakannya. Ditinjau dari gerak pengaruhnya terhadap pola pikir manusia, Argumentum Auctoritatis disinyalir dapat menyumbat serta mematikan ruang gerak berpikir kritis seseorang, sehingga sebagian para ahli mengklaim bahwa Argumentum Auctoritatis merupakan penyakit pemikiran yang mesti diwaspadai.  
Sampai saat ini, penyakit pemikiran ini telah menjangkit banyak golongan, dan hanya segelintir orang saja yang dapat menangkalnya. Guru, Mahasiswa dan Pelajar yang notabene-nya merupakan kaum terdidik, juga tidak lepas dari jaring perangkap penyakit ini. Lebih-lebih masyarakat umum dimana khazanah keilmuan dan wawasan berpikirnya masih sangat minim, sehingga dalam menyikapi suatu gagasan; apakah gagasan itu benar atau salah, mereka banyak mengacu dan bergantung pada siapa yang mengemukakannya.
Mengutip sebuah kasus yang ditulis oleh Idrus Sahab dalam bukunya Beragama dengan Akal Jernih, Jakarta, 2007, bahwa seorang siswa yang tidak begitu pengalaman dalam hal menulis puisi mencoba membuat sebuah puisi tentang alam. Kemudian, karya itu ia deklamasikan didepan teman-temannya yang kebetulan hobi puisi dan lebih senior mengenai puisi. Begitu membaca, sang temen menertawai puisinya. Merasa dirinya dilecehkan, sepulang sekolah ia kembali  menulis puisi lagi. Di bawah judul ia tulis: “W.S. Rendra” dan keesokan harinya, ia deklamasikan puisi tersebut di depan temen-temannya. Seraya membaca, kepala teman-temannya tampak bergeleng-geleng dan mulutnya berdecak kagum. Mendengar puisi yang dibacakannya bagus, teman-temannya kemudian membuat komentar terhadap puisinya serta memujinya. Setelah mendengar komentar panjang lebar, barulah ia mengaku bahwa puisi itu adalah buah karyanya sendiri. Sontak saja teman-temannya marah dan kecewa, seraya berkata “sialan! Kenapa kamu tidak katakan dari tadi?”.
lantas pertanyaan yang muncul setelah membaca kasus diatas adalah ; apa yang akan terjadi jika sebelum mendeklamasikan puisi, sang penulis puisi mengatakan bahwa ia yang membuatnya?, sudah barang tentu respon mereka akan sayu, layaknya puisi yang sebelumnya. 
***
Gagasan yang lahir dari seorang Professor Doktor, tentu akan sangat berbeda dengan gagasan yang lahir dari olah pikir seorang Mahasiswa semester awal, baik kualitas maupun kuantitasnya. Namun untuk menetapkan gagasan siapa yang paling benar, kita harus tetap menganalisis dan mengklarifikasi terlebih dahulu, bukan “asal telan” saja karena gagasan tersebut berasal dari seseorang dengan seabrek title dan segudang ilmu pengetahuan.
Tidak kita pungkiri, bahwa seorang Profesor Doktor telah banyak merasakan pahit-manisnya dunia  keilmuan, sehingga untuk melejitkan gagasan nampaknya mereka lebih bisa beberapa tingkat di banding seorang Mahasiswa semester awal. Namun kita juga tidak menutup mata bahwa sekaliber Profesor Doktor sekalipun, tetap saja dia adalah manusia layaknya manusia pada umumnya yang juga sama-sama memiliki “emosi” dalam menyikapi sesuatu. Sehingga tidak menutup kemungkinan mereka dapat melakukan upaya-upaya distorsi (memutar balikan fakta) terhadap suatu kebenaran hanya demi memuaskan emosi pribadinya. Ditambah lagi fitrah manusia yang tidak pernah lepas dari salah dan dosa, nampaknya kian menambah deretan faktor yang mengharuskan kita melakakukan analisis klarifikatif terhadap suatu gagasan.
Oleh sebab itu, lebih baik kiranya jika kita sedikit lebih kritis terhadap suatu gagasan dengan terlebih dahulu melakukan analisis sebelum kita mengakui kebenaran suatu gagasan.  Disamping itu, kita juga harus tetap waspada terhadap menularnya penyakit Argumentum Auctoritatis yang hanya akan  membuat kita menjadi pribadi  follower, tidak kreatif serta mematikan ruang gerak berpikir kritis diri kita.
Di akhir tulisan ini, penulis ingin menyampaikan apa yang pernah dikatakan oleh Algazel dalam salah satu bukunya, “janganlah mengenali kebenaran dari manusianya, tetapi kenalilah dari kebenaran itu sendiri, nanti engkau akan mengenali ahlinya”. Wallahua’lam
 Written by : Alfarobi
14 Desember 2011

KONTRIBUSI ISLAM DALAM SEJARAH PERADABAN BARAT


Kehidupan saat ini tidak dapat lagi dipisahkan dari peran peradaban Barat. Hampir seluruh aspek kehidupan dibentuk atas dasar pemikiran Barat. Ilmu pengetahuan, tekonologi, ekonomi, politik  dan sebagainya sebagian besar  diadopsi dari peradaban bangsa Barat. Sehingga tidak salah jika kemudian masyarakat mengatakan; “kemajuan peradaban dunia saat ini di bawah kendali bangsa Barat.”
Perlu diketahui bersama bahwasanya dibalik kejayaan peradaban Barat saat ini, ada sebuah realitas sejarah yang banyak tidak diketahui dunia atau bahkan memang sengaja “ditutup-tutupi” oleh bangsa Barat karena dikhawatirkan dapat menjadi boomerang yang dapat meluluh lantahkan profil kamajuan peradaban Barat  di mata dunia. Ya,! Sebuah realitas sejarah yang mengatakan bahwa; kemajuan peradaban bangsa Barat saat ini adalah karna “jasa dan pengorbanan” para ilmuwan muslim abad  pertengahan.
Konon, tepatnya pada abad ke XIII M, terjadilah sebuah invasi bangsa Mongol yang dahsyat lagi kejam. Invasi tersebut dimulai pada tahun 1206, dipimpin oleh Jengis Khandan dan anak keturunannya . Sebagai akibat dari kebengisan bangsa Mongol, hampir tidak ada sebuah peradaban yang tersisa di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Eropa timur. 
Kemudian Pada tahun 1258, pasukan Bangsa Mongol mulai mengincar pusat peradaban Islam di Baghdad. Mereka mengubah keindahan kota menjadi puing-puing reruntuhan. Mereka ubah Masjid menjadi kandang kuda, merobohkan rumah sakit dan universitas, merusak sistem irigasi peninggalan Mesopotamia yang dibuat ribuan tahun silam, menginjak-injak mushaf Al-Qur’an, membakar perpustakaan dan menumpuk serta menghanyutkan ribuan buku-buku dan manuskrip-manuskrip tulisan ulama-ulama terdahulu di sungai Tingris sebagai batu loncatan agar mereka bisa mencapai sisi sebelah barat sungai.
Begitu parahnya kerusakan yang mereka timbulkan, sehingga banyak para sejarawan yang menganggap bahwa penghancuran kota Baghdad sebagai pusat intelektual dan kekhilafahan Dinasti Abbasiah tahun 1258, sebagai peristiwa “kemunduran” Era Kejayaan Islam abad pertengahan.  
Setelah berhasil memporak-porandakan pusat Kekhilafaan Islam di Baghdad dan berhasil mencapai sisi sebelah barat sungai, mereka kemudian meneruskan invansinya ke arah barat menuju Mesir dan Mediterania. Namun beruntung, pada tahun 1260 pasukan Islam dari Dinasti Mamluk dapat menghalau tindakan biadab mereka hingga akhirnya mereka menghentikan invansinya.
Seandainya pasukan islam tidak berhasil mengahalau mereka kala itu, kemungkinan seluruh wilayah yang menjadi pusat peradaban dunia seperti Roma, Mesir, Andalusia, Bizantum, dan Eropa Barat juga akan musnah. Nah, jika itu terjadi; akankah bangsa Barat bisa mengukir kejayaan dan kemajuan seperti saat ini?.
            Inilah realitas sejarah yang sampai saat ini belum dibuat clear oleh bangsa Barat. Bahkan sebenarnya, jauh sebelum peradaban Barat mengukir prestise keilmuwan di mata dunia, peradaban Islam melalui cendikiawan-cendikiawan hebat seperti Ibnu Shina (Avicenna), Albiruni, Al-Battani (Albategnius) dan cendekiawan lainnya, telah lebih dulu membangun citra keilmuwan peradaban Islam lebih beberapa tingkat dari peradaban Barat saat ini. Namun, lagi-lagi bangsa Barat enggan mengakui prestise gemilang ini bahkan kian membuatnya terkikis dari mata dunia.  
            Betapa hebatnya pengaruh peradaban Islam terhadap alur kemajuan peradaban Barat saat ini. Mestinya mereka “tahu diri” dan berterimakasih pada Islam atas sumbangsih yang telah mereka berikan, bukan malah  menginjak-injak martabat orang Islam dan kian  pongah dengan eloknya kemajuan yang mereka dapatkan saat ini.
                                                                                                        Written By: Alfarobi
                                                                                                                       21 Desember 2011

KERAPAN SAPI; PRESTISE KEBANGGAAN MADURA YANG KIAN TERNODAI


             Ditilik dari historisnya,.kerapan sapi awalnya lahir dari gagasan seorang ulama yang bernama Sayyid Ahmad Baidawi yang kemudian oleh masayarakat Madura dikenal dengan Pangeran Katandur. Pangeran Katandur adalah cucu Sunan Kudus yang diutus ke daerah Madura, tepatnya di Kepulauan Sepudi, untuk menegakkan syiar Islam.
            Mulanya, Pangeran Katandur melihat beberapa petak tanah di daerah Sepudi dalam keadaan tandus tak terurus. Kemudian beliau berinisiatif untuk memanfaatkan tenaga sapi guna membajak dan mengelola tanah tersebut. Bermodal ketekunaan dan kesabaran, selang bebarapa bulan tanah yang awalnya tandus tersebut berubah menjadi sangat subur dan potensial untuk dapat ditanami dan dipanen hasilnya. Melihat usaha Pangeran Katandur meraup hasil maksimal dan membanggakan, masyarakat Sepudi pun kemudian mengikuti jejaknya. Akhirnya tanah di daerah Sepudi menjadi sangat subur dan bisa ditanami padi. Hasil panen berlimpah ruah dan jadilah daerah Sepudi yang subur nan makmur.
            Guna menumpahkan kegembiraan masyarakat atas nikmat yang berlimpah ruah, Pangeran Katandur mempunyai inisiatif mengajak warga desanya untuk mengadakan balapan sapi sebagai bentuk rasa syukur pada Allah SWT. Areal tanah sawah yang telah dipanen dimanfaatkan untuk areal Balapan Sapi. Nah, Dari sinilah awal mula tradisi “Balapan Sapi” atau yang sekarang dikenal dengan istilah Kerapan Sapi.
***
            Bagi masyarakat Madura, Kerapan Sapi  tidak hanya sebagai tradisi budaya atau pesta rakyat yang dilaksanakan setiap tahun. Lebih dari itu, Kerapan Sapi merupakan “prestise” kebanggaan Madura yang harus dikembangkan dan dilestarikan keberadaannya. Namun ironisnya, belakangan ini masayarakat bukan malah mengembangkan dan melestarikan aset kekayaan budaya Madura tersebut melainkan kian menodainya dengan praktek kekerasan yang dilakukan pada sapi saat Kerapan Sapi digelar. Seperti, menancapkan paku pada pantat sapi dan memoles cabai dan balsem ke mata sapi agar larinya kencang. 
            Melihat fenomena yang tak “ber-prikehewanan” ini,  berbagai macam kritikan dan kecaman dilontarkan masyarakaat peduli budaya, baik dari masyarakat Madura sendiri atau luar Madura, yang menuntut Pemkab mengambil sikap dan tindakan guna mengembalikan citra positif  Kerapan Sapi sebagaimana yang dikenalkan Pangeran Katandur.
            Menindak lanjuti kritik dan protes masyarakat, Pemkab Kabupaten Pamekasan (Drs. KH. Kholilurrahman) melalui Bakorwil IV Pamekasan bekerjasama dengan sejarawan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di seluruh kabupaten yang ada di Madura berupaya melakukan gerakan “menyuarakan” anti penyiksaan pada sapi kerap. Namun tampaknya seruan itu tidak dirubris positif oleh sebagian pemilik sapi kerap, karena kenyataannya  pada pergelaran Kerapan Sapi Piala Bergilir Presiden 2011 di lapangan Stadion Soenarto Hadiwidjojo Pamekasan, Ahad 23 oktober kemarin, praktik kekerasan masih saja terjadi. Padahal menurut KH Ali Rahbini Abdul Latief selaku ketua MUI Pamekasan, panitia pelaksana telah melarang  praktik kekerasan ketika itu.
            Dari fenomena tersebut, dapat kita ketahui bahwa untuk menghapus praktik kekerasan dalam Kerapan Sapi perlu kiranya Pemkab se-Madura lebih tegas lagi dalam memberi kebijakan. Kalau perlu, adakan konsekwensi nyata dan tegas bagi siapa saja yang melanggar kebijakan tersebut,. Misalnya, bagi yang melanggar akan didiskualifikasi atau didenda dan tidak boleh ikut serta lagi di tahun selanjutnya. Sehingga dari ketegasan itu diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan pada sapi kerap serta lambat-laun dapat mengembalikan citra positif budaya Kerapan Sapi di kalangan masyarakat luas.
***
            Tidak bisa kita pungkiri bahwa kepopuleran budaya Kerapan Sapi  telah menjamah kalangan masyarakat luas di berbagai daerah. Tidak hanya di  Indonesia, Negara-negara tetanggapun telah mengakui akan eksistensi Kerapan Sapi sebagai ikon budaya Madura, yang akan memperkenalkan budaya Madura dikancah budaya Nasional bahkan Internasional.
Namun akan sangat disayangkan, bila salah satu prestise kebanggaan Madura ini “dinodai” oleh mereka yang hanya ingin meraup keuntungan semata tanpa memperhatikan cara-cara yang positif dalam menggapainya.  Apalagi jika sampai muncul stereotype dari masyarakat luar Madura bahwa praktek kekerasan dalam pergelaran Kerapan Sapi adalah bagian dari karakter masyarakat Madura yang kejam, keras dan tak tahu belas kasihan. Naudzubillah..
Written by: Alfarobi
25 November  2011
              

Kamis, 22 Desember 2011

"Kisah Inspiratif ; sebuah solusi produktif bagi mereka yang gundah dalam menentukan 'cita-cita'."

Naiklah ke Satu Lantai lagi

“Dikisahkan”, ada seorang anak Gadis yang selalu berkata pada Ibunya bahwa kalau besar nanti, ia akan menjadi seorang Dokter agar dapat membantu orang-orang yang sakit. Sang Ibu pun hanya tersenyum dan menjawab “Kalau kau ingin menjadi Dokter, tekunilah pelajaran Biologi, Matematika dan Bahasa Inggris. Karena itu yang akan menuntunmu menjadi Dokter” pesan sang Ibu pada buah hatinya.

Dua tahun berlalu, dan kini ia duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Ia cemberut dan gelisah saat tengah kesulitan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya untuk menyelesaikan soal-soal Matematika, Fisika dan Biologi. Melihat kemampuannya dalam bidang Sains sangat rendah, ia pun berencana mengubah keinginaannya menjadi seorang Dokter. Kemudian ia mengadukan pada ibunya.

“Bu, boleh gak aku mengubah cita-citaku?”

“Kenapa,nak?”
“Dulu, Ibu pernah berkata, kalau ingin menjadi Dokter maka tekunilah pelajaran Biologi, Matematika dan Bahasa Inggris. Ternyata, pelajaran-pelajaran itu jauh lebih sulit dibandingkan pelajaran lainnya. Bisakah aku menawar cita-citaku untuk tidak menjadi dokter, Bu?”Pintanya dengan nada merayu
Sang Ibu hanya menjawab “Naiklah ke satu lantai lagi , Nak” “Kalau kau igin mengubah cita-citamu, Naiklah ke satu lantai lagi. Pelajari apa yang kau bisa dan tekunilah. Maka, itu yang akan menjadi cita-citamu nanti.”

Tahun demi tahun pun berjalan, si Gadis pun kian dewasa nan cantik. Kali ini, ia telah duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Atas. Ia terlihat tengah mengerjakan soal-sola ujian yang akan menentukan apakah ia mampu menjadi Dokter atau tidak. Ia berpikir, untuk meraih cita-cita tidaklah semudah mengucapkannya.

Pada suatu ketika, sank Ibu mendampingi si Gadis belajar. Di sela-sela si Gadis belajar, sesekali sang Ibu bertanya
“apa kau masih bercita-cita menjadi dokter, Nak?”
“Aku masih akan mencoba, Bu. Tapi kalau aku tak lulus dalam pelajaran Fisika, Matematika dan Biologi saat pengumuman nanti, aku tak akan mau menjadi dokter lagi.” Jawab sang anak.
Sang ibu tersenyum seraya berkata “Naiklah ke satu lantai lagi, Nak”

Jawaban itulah yang masih terus membuat si Gadis penasaran hingga akhirnya ia berdiri di depan papan pengumuman, dan betapa terkejutnya dikala ia menemukan namanya berada di urutan kelima teratas dari deretan siswa-siswa yang lulus dalam ujian akhir. Padahal sebelumnya ia tak yakin bisa lulus dalam mata pelajaran tersulit pada bidang-bidang yang ia geluti. Ia pun pulang dengan tersenyum puas pada ibunya.
“Aku lulus, Bu”
“Baguslah. Oya, apa masih berhasrat untuk menjadi seorang Dokter”
Si Gadis mendadak lesu seketika. ia sadar benar, betapa sulitnya mengikuti ujian-ujian yang telah menyita waktunya dan mengambil masa remajanya selama ini. Kerena demi cita-cita, ia tak ingin mengenal dunianya sebagai seorang Gadis yang jatuh cinta dan bersenang-senang dengan temen-temannya yang lain. Is tertunduk di hadapan Ibunya.

“Sepertinya aku tidak mau menjadi dokter, bu”
“Baguslah, dan naiklah ke satu lantai lagi”
Akhirnya si gadis yang sejak dulu merasa penasaran memberanikan diri untuk bertanya  pada ibunya tentang arti dari ucapan itu.

“Apa maksud dari naiklah ke satu lantai lagi, Bu?”
Sang ibu dengan santai menjawab, “Cita-cita menjadi Dokter bukanlah satu-satunya cita-cita tertinggi dari semua cita-cita yang ada. Cita-cita yang sebenarnya adalah “ketika kau telah meraih sesuatu yang membuatmu senang, nyaman dan tidak berkeluh-kesah atas kesulitan yang kau hadapi”. Selama ini, kau telah mengeluhkan mata pelajaran atas cita-citamu. Jadi sejak dulu Ibu tahu kau tidak sanggup menjadi seorang Dokter. Karena itu, carilah cita-cita lain yang kau senangi mata pelajaran dan dunianya, dan kau tidak membuang masa remajamu yang indah. Anakku, cita-cita yang berharga adalah ketika kau telah melakukan sesuatu tanpa menangis dan merasa berat untuk menyelesaikannya.”

Anak Gadis itupun menangis di hadapan Ibunya. Ia baru tahu tentang arti naik ke satu lantai lagi. Ya, ia harus menyenangi  sesuatu yang kan menjadi cita-citanya. “Bagaiman mungkin kita akan berhasil menjadi seorang Dokter jika kita tidak menyukai ujian-ujian yang akan menaikkan levelnya sebagai seorang dokter?” tanyanya pada dirinya.
Lima tahun berlalu, dan si anak tengah menghadiri acara wisuda di kampusnya. Menariknya, ia lulus dengan predikat cumlaude, tetapi bukan untuk jurusan Kedokteraan melainkan jurusan Pendidikan Keguruan. Nantinya, ia akan menjadikan murid-muridnya pintar dan berhasil meraih cita-citanya.  Ibunya berkata”Tidak menjadi Dokter tak kan membuatmu menyesal jika kau menjadi seorang yang lebih tinggi dari itu”

Dan ternyata menjadi orang yang dapat mencerdaskan orang lain adalah jawaban dari cita-citanya selama ini. Naiklah ke satu lantai lagi. Jika anda ingin berbuat lebih sukses, anada harus melakukan usaha yang jauh lebih maju lagi. Mari, kita gapai cita-cita kita bersama senyum nyaman dan gairah semangat yang tenang.

Written By : Alfarobi
                  Taken from "MR.Alasan", Vanny Chrisma W.

Semoga Sembuh Membawa Berkah

Setelah empat hari aku di cekoki wewangian khas Rumah Sakit, kini aku kembali bersinar lega, bersungging tawa dan tentunya kembali merangkai kata dengan sedikit polesan bahasa metafora. Layaknya seorang prajurit yang baru saja meninggalkan medan tempur setelah bebrapa hari pertahanannya dikoyak musuh, kali ini aku kembali menjadi manusia merdeka yang tak lagi di ambang pertempuran sengit melawan rasa sakit yang sekitar empat hari ini mengoyak daya tahan tubuhku.

Dunia memang selalu berputar. Sekarang bisa saja kita sehat, tapi tidak menutup kemungkinan besok kita terbaring sakit,  atau malah sebaliknya. Namun yang patut kita sadari; disaat kita sehat jangan membuat kita bangga dan  pongah dengan kesehatan yang kita rasakan. Ingat, kesehatan adalah rasa sakit yang tertunda sebagaimana kehidupan adalah kematian yang tertunda. Jadi, tetap “tabah” dalam sakit dan sehat karena keduanya adalah ujian Tuhan namun dalam wujud yang berbeda.

Kata Umiku “sakit itu Kasih sayang”. Pertama, disaat kita terkapar dirudung rasa sakit; akankah orang-orang di sekeliling kita dapat hadir untuk sekedar menyunggingkan senyum, seraya  berkata “semoga cepat sembuh ya..”. Ataukah mereka kian apatis berlari menjauhi kita, akibat sikap kita selama ini yang juga apatis ketika mereka di rudung problematis?.
Kedua, disaat kita sakit, sebenarnya tuhan sedang menunjukkan kasih sayangnya. Sakit itu bermuara dari Tuhan. Artinya, ketika kita sakit nyatanya Tuhan ingat pada kita. Jika Tuhan ingat pada kita tentunya Tuhan sayang pada kita. “udzkuruni astajiblakum”

Kata Abiku “Sakit itu peringatan”. Disaat kita sakit, sebenarnya Tuhan sedang menyapa kita dengan sebuah “peringatan”. Peringatan akan pentingnya syukur saat kita sehat, peringatan tentang dosa yang telah kita lakukan semasa sehat dan peringatan akan kematian yang tak seorang pun tahu kapan datangnya.  Apakah hari ini ketika kita di rudung rasa sakit, kemudian kita akan mati terkubur tanah, atau esok yang juga kita tak tahu bagaimana nyatanya, ataukah setelah kita sehat dan kembali menyapa dunia dengan senyum? Hmmb…”intinya” ketika kita sakit berusahalah untuk selalu abdi pada Allah seraya memohon ampun atas dosaa telah kita lakukan dan jangan lupa tetap “sabar dan ikhlas” mengahadapi semuanya, Insyaalah berkah, katanya.

Sedang menurut Aku, “Sakit itu ujian dan harapan”.   Sakit itu ujian. Di saat kita sakit nyatanya Tuhan sedang menguji keimanan kita. Akankah rasa sakit yang kita alami saat ini, lantas membuat kita rabun akan kenikmatan yang telah kita dapatkan semasa sehat, lantas menyurutkan intensitas syukur dan meningkatkan keluh-kesah kita pada Tuhan, seakan kita hendak berkata “Tuhan tidak adil, kenapa aku yang sakit sedang mereka sehat”. Ataukah rasa sakit yang mendera kita saat ini kian memompa semangat dzikir, mendongkrak rasa kearifan dan tetap menjaga kestabilan iman kita agar tidak terkoyak dan kalah oleh rasa sakit yang saat ini mendera pilu.

“Sakit itu harapan”. Siapa saja yang kemarin, saat ini atau esok merasakan sakit, tentunya mereka berharap sebuah kesembuhan, berharap dapat menatap hari esok dengan sebuah perbaikan dan berharap rasa sakit yang kali ini ia rasakaan tak lagi hadir untuk yang kedua kalinya.

Hmmmm…Semoga sembuh menguntai Rahmah, menggores Ibrah dan berbuah Berkah. Aku milikmu ya Raab. Berhak atas Mu untuk mengambilku kapanpun Kau mau. Namun satu harapku “Ambil aku saat aku siap menghadap-Mu,. dengan sebongkah bekal taqwa yang terbalut iman yang aku bawa untuk aku persembahkan pada Mu”

Written By : Alfarobi

Peranan Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Rangka Menumbuhkan Kesadaran Bela Negara dan Meningkatkan Rasa Cinta Tanah Air Bagi Generasi Penerus


Di tengah arus globalisasi dan modernisasi seperti saat ini,  rasa cinta tanah air dan tuntutan bela negara masih ada dan sangat diperlukan khusunya bagi para generasi penerus, yang tengah diharapkan mampu menjawab tantangan global.
Generasi penerus merupakan aset berharga bangsa, di tangan mereka terdapat amanah besar, mereka adalah penerus peradaban dan perjuangan bangsa serta rasa nasionalisme berikutnya. Sehingga merupakan suatu keharusan bagi mereka untuk mengetahui sejarah nasionalisme Indonesia. Selain itu penanaman serta penguatan rasa cinta tanah air menjadi hal yang sangat urgen untuk diberikan kepada para generasi penerus.  Disinilah  letak peranan pendidikan kewarganegaraan dalam rangka menumbuhkan kesadaran bela negara dan meningkatkan rasa cinta tanah air bagi generasi penerus. Pendidikan kewarganegaraan juga merupakan salah satu cara/ mediasi untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan kehidupan generasi penerus sebagai warga negara. 
Peranan Pendidikan Kewarganegaraan adalah membina warga negara khususnya generasi penerus yang baik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Kewarganegaraan bagi generasi penerus sangat penting dalam rangka menumbuhkan kesadaran bela negara dan meningkatkan rasa cinta terhadap tanah air. Hal ini mengingat para generasi peneruslah yang akan menjadi para pemimpin bangsa di masa yang akan datang.
Dalam pendidikan kewarganegaraan, peserta didik (generasi penerus) senantiasa dibekali dengan hal-hal yang dapat meningkatkan rasa nasionalisme. Pemahaman serta peningkatan sikap dan tingkah laku yang berdasar pada Nilai-nilai pancasila serta budaya bangsa merupakan hal yang diprioritaskan dalam Pendidikan Kewarganeraan. Sebagaimana tujuan  utama Pendidikan Kewarganegaraan, hal itu semua guna menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa, Wawasan Nusantara, serta Ketahanan Nasional dalam diri para  generasi penerus bangsa.
Pendidikan Kewarganegaraan juga merupakan pendidikan dasar bela negara, dimana pendidikan dasar bela negara ini bertujuan menumbuhkan kecintaan terhadap tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia, kerelaan berkorban untuk negara serta memberikan kemampuan awal bela negara. Sebagaimana yang telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menjelaskan bahwa, “ Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warga negara dan negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Rasa cinta tanah air dan kerelaan bela negara sangat diperlukan demi tetap utuhnya dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan bela negara dan rasa cinta tanah air adalah serangkain sikap warga negara yang senantiasa merasa memiliki dan bangga terhadap bangsa yang membias pada tekad, sikap dan tindakan warga negara yang rela berkorban guna meniadakan sikap ancaman baik dari luar maupun / dalam negara yang membahayakan kemerdekaan dan kedaulatan negara kesatuan dan persatuan bangsa, keutuhan wilayah dan yuridiksi nasional serta nilai-nilai pancasila dan uud’45.   
Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, para generasi penerus Bangsa Indonesia diharapkan mampu: “Memahami, menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa, dan negaranya serta berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan nasional seperti yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945”.
Pendidikan kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh rasa tanggung jawab dari peserta didik. Sikap ini tentunya disertai dengan perilaku yang:
1.        Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghayati nilai-nilai falsafah bangsa.
2.        Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3.         Rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga Negara.
4.         Bersifat profesional, yang dijiwai oleh kesadaran Bela Negara.
5.         Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa, dan negara.
Dengan demikian, terciptalah para generasi penerus bangsa yang tangguh dan berkpribadian luhur Pancasila, yang  senantiasa cinta tanah air dan rela berjuang dan berkorban dalam rangka bela negara. Merekalah para generasi yang akan membawa Indonesia pada gerbang kemajuan dan siap menjawab tantangan global.

REFERENSI
-          Daryono,M,dkk.Pengantar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.1998.Jakarta:PT. Rineka Cipta.
-          Kaelan, MS., Dr.. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:Paradigma
-          Sumarsono, S dkk. 2005. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Cetakan keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Written by: Naili U.H
                   15 November 2011 (tugas mata kuliah PKN, FFUA 2011)

PENDIDIKAN PANCASILA ADALAH PENDIDIKAN BERKARAKTER BAGI MAHASISWA (TINJAUAN DARI FILSAFAT PANCASILA)

        Pancasila adalah dasar falsafah negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Setiap warga negara wajib mempelajari, mendalami, menghayati, dan mengamalkannya dalam segala bidang kehidupan. Seperti kita ketahui bersama, bahwa saat ini Indonesia berada dalam era globalisasi. Maka agar tidak terombang ambing di tengah masyarakat internasional, bangsa Indonesia harus memiliki visi dan ideologi yang kuat (nasionalisme). Terutama kita sebagai mahasiswa harus memiliki ideologi yang berdasarkan atas Pancasila. Sebab mahasiswa memiliki peran yang penting dalam masyarakat contohnya: sebagai kontrol sosial dan calon pemimpin bangsa.
Dengan begitu setiap mahasiswa dan rakyat Indonesia pada umumnya harus mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu setiap warga Indonesia wajib menghayati nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila secara utuh dan menyeluruh.
        Agar terbentuk masyarakat yang berjiwa Pancasilaisme harus ada pendidikan Pancasila dalam setiap tingkat pendidikan formal, terutama untuk tingkat pendidikan tinggi. Karena di tingkat ini adalah fase paling rawan, artinya di tingkat ini banyak mahasiswa yang mencari pandangan hidup (ideologi) yang sesuai dengan dirinya. Disinilah peran Pancasila sebagai ideologi diperlukan sebagai penanaman karakter bagi mahasiswa. Karena hanya Pancasila yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

          Pancasila sebagai dasar filsafat negara merupakan sumber bagi segala tindakan para penyelenggara negara, menjadi jiwa dari perundang-undangan yang berlaku dalam kehidupan bernegara. Secara filosofis dan obyektif, nilai-nilai yang tertuang dalam sila-sila Pancasila merupakan filosofi bangsa Indonesia sebelum mendirikan negara Republik Indonesia. Maka dari itu, dalam menghadapi tantangan kehidupan bangsa dalam maraknya globalisasi, Bangsa Indonesia harus tetap memiliki nilai-nilai, yaitu Pancasila sebagai sumber nilai dalam pelaksanaan kenegaraan yang menjiwai pembangunan nasional di berbagai bidang.  
Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa merupakan satu kesatuan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing sila –silanya, karena apabila dilihat satu persatu dari masing-masing sila itu dapat sajaditemukan dalam kehidupan bangsa lain. Namun makna pancasila terletak pada nilai-nilai drai masing-masin sila sebagai satu kesatuan yang tidak dapat ditukarbalikkan letak dan susunanya.
Merupakan kewajiban moral untuk merealisasikan nilai-nilai tersebut di atas dalam bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun wujud realisasinya adalah melalui pendidikan pancasila yang juga merupakan suatu media pendidikan berkaraket bagi setiap warga negara.  Pancasila mencakup karakter nasional dan global, yakni etos kerja yang tinggi, bekerja keras, cinta tanah air, nasionalis, cerdas, kreatif, kritis, inovatif, bertanggung jawab, adil, bijaksana. Selain itu, karakter lainnya ialah bermental pemberani (patriotik), tekun, berwawasan kebangsaan dan global. Karakter berikutnya adalah visioner, mampu membuat pilihan dalam hidup, rukun, ramah, saling menghargai, jujur, sportif, dan tangguh.  
Pendidikan Pancasila sebagai pendidikan berkarakter bagi setiap warga negara Indonesia memiliki peranan penting dalam upaya mewujudkan Indonesia yang maju dan bertabat. Pendidikan Pancasila ini sangtalah urgen diberikan khususnya  bagi para mahasiswa. Di perguruan tinggi, Pendidikan karakter terintegrasi dalam Pendidikan Pancasila sebagai mata kuliah dasar umum yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa. Pemberian mata kuliah Pendidikan Pancasila kepada setiap mahasiswa itu sebagai wujud pengembangan karakter, watak dan akhlak yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila  dimaksudkan untuk mencegah timbulnya radikalisme yang membahayakan negara, dan juga agar setiap mahsiswa dapat memahami dan mengemalkan nilai-nilai Pancasila. 
   Perlu diketahui bahwasanya dalam sektor modern perguruan tinggi (universitas) dianggap sebagai lembaga paling modern dan pembaruan. Perguruan tinggi ialah sebuah pusat dengan perananya menghasilkan pemimpin yang cocok di masa kini dan mempelopori modernisasi.
Eksistensi mahasiswa sebagai generasi muda merupakan ujung tombak harapan bangsa, ia adalah aset berharga untuk masa depan Indonesia. Maka dari itu, untuk menjadi bangsa yang berdaulat, berdikari, dan unggul, setiap generasi muda harus memiliki karakter Pancasila sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Dengan pendidikan pancasila, mahasiswa didambakan menjadi warganegara Indonesia yang unggul dalam penguasaan Iptek dan seni, namun tidak kehilangna jati dirinya, apalagi tercabut dari kara budaya bangsa dan keimanannya.
Adapun tujuan pendidikan pancasila sebagai pendidkan berkarakter adalah sebagai berikut; Pendidikan pancasila mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku kebudayaan, dan beraneka ragam kepentingan perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangn dan golongan. Dengan demikian perbedaan pemikiran, pendapat atau kepentingan diatasi melalui keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan Pancasila sebagai salah satu dari mata kuliah memiliki misi dan visi;
Misi Pendidikan Pancasila : Misi pendidikan Pancasila di perguruan tinggi menjadi sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan mahasisiwa mengembangkan kepribadiaannya.
Visi Pendidikan Pancasila: Bertujuan membantu mahasiswa agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dan kebudayaan serta kesadaran berbangsa dan bernegara dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang dikuasainya dengan rasa tanggung jawab kemanusiaan.
Pendidikan Pancasila yang berhasil akan membuahkan sikap mental bersifat cerdas penuh tanggung jawab dari peserta didik dengan perilaku yang : Beriman dan bertakwa terhadap TuhanYang Maha Esa, Berprikemanusiaan yang adil dan beradab, mendukung persatuan bangsa, mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial.
Perlu diingat bersama bahwasanya Pentingnya pendidikan karakter Pancasila tidak sebatas untuk menanggapi isu-isu aktual dan dijadikan sebagai komoditas iklan pendidikan, tetapi ada capaian-capaian masa depan yang harus diraih, yakni membangun bangsa yang berdaulat, mandiri, dan unggul.
 
       I.            REFERENSI
-Kaelan, MS., Dr.. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:Paradigma
-Winarno, dwi.Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan.2006.Surakarta: PT: Bumi aksara.
-Syarbaini, syahrial. Pendidikan Pancasila di Perguruan tinggi.2002.Jakarta: Ghalia Indonesia.
-Salim, arshal.Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani.2000.Jakarta: Jakarta Press
-Daryono,M,dkk.Pengantar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.1998.Jakarta:PT. Rineka Cipta.

Written by: Naili U.H 
                  08 November 2011 (tugas mata kuliah PKN, FFUA 2011)