Sabtu, 21 Januari 2012

Belajar Tegar dari Guru Kehidupan


Masalah memang tidak pernah hengkang dari kehidupan manusia. Ia seakan telah menjadi bumbu kehidupan yang keberadaannya di sekitar manusia serasa mutlak di butuhkan.  Jika buku adalah guru besar pendidikan, maka masalah adalah guru besar  kehidupan. Ia adalah  guru yang selalu mengajari arti kehidupan, menuntun pada pendewasaan diri dan  memberi arah tentang bagaimana hendaknya manusia bersikap.
Ditilik dari pengaruhnya, nyatanya masalah memiliki peran satrategis dalam kehidupan, utamanya dalam hal mendidik dan melatih kesabaran saat hidup dirudung pilu dan kesedihan. Namun untuk hal yang berkenaan dengan “masalah” nampaknya sebagian besar manusia akan mengatakan “NO”  untuk masalah. Bagi mereka, masalah hanya akan membuat risih kehidupan, menguras kesabaran, yang mana untuk menyelesaikannya akan sangat memberi kepayahan dan keletihan, sedangkan yang mereka inginkan adalah alur kehidupan yang aman, tenang, tentram tanpa adannya tanjakan dan liku yang berkelok-kelok. Hm..,,,Sebuah fitrah yang dapat dimaklumi, namun patut diakui bahwa Itulah gambaran mereka yang tidak dapat mengambil hikmah dari oretan masalah yang pernah mereka abadikan dalam sejarah hidupnya.
Jika kita sejenak mau berpikir, berkontemplasi sebari melejitkan pikir kita menyelisik  lembar demi lembar dari oreetan sejarah, tentunya kita akan dapatkan realitas sejarah yang mengatakan ; Mereka yang telah sukses membangun hidupnya, menorehkan prestise yang membanggakan dalam sejarahnya dan menancapkan bendera keberhasilan dari mimpi-mimpinya diatas bintang nun jauh disana,  “memang” pada awalnya mereka banyak belajar dari masalah.
Nabi Muhammad SAW, contohnya. Sebagai revolusioner kenamaan islam yang keberhasilannya telah diakui dan dicatat oleh sejarah selama kurun waktu berabad-abad, pun alur kehidupannya tidak datar-datar saja. Berbagai macam terjangan, ancaman dan rintanga beberapa kali menghadang jalannya, namun itu tidak lantas membuat beliau terlarut dalam masalah dan terperangkap dalam kubangan kesedihan. Obsesinya untuk membuat suatu perubahan yang mendasar di tubuh agama islam membuat metabolisme jiwa-nya kebal dari raungan keputus-asaan. Semangatnya untuk tetap menyebarkan agama Allah, menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran selalu dan kian  berkobar meski masalah demi masalah datang bertubu-tubi untuk mengoyak dan melengserkan niat terpujinya. Dan pada akhirnya, lewat buku “100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia”, dunia pun  mulai bersuara, bercerita tentang elok kiprahnya dan memberikan “anggukan” atas keberhasilan kerjanya. Sebuah proses yang cukup menguras kesabaran. Namun lihatlah akhirnya, apa yang terjadi !.
Perlu diketahui bersama bahwa masalah adalah sebuah keharusan dan kepastian yang harus kita hadapi sebagai bagian dari kehidupan. Ia akan selalu hadir di sela-sela kegembiraan maupun kesedihan untuk memberi warna dalam kehidupan. Sebuah  keimanan dan ketaqwaan seseorang, semuanya akan terang terakui setelah melalui ujian panjang dengan masalah sebagai bahan ujiannya. Dan tentang siapa yang akan keluar menjadi seorang pemenang,  merekalah yang tetap sabar manapaki setiap lintasan masalah dan berusaha untuk memetik hikmah dari setiap rentetan masalah yang menguji keimanan dan ketaqwaannya. Hal ini selaras dengan apa yang dijelaskan Allah SWT dalam kitabnya ; “Dan Sungguh kami akan berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi mereka yang sabar” (QS:Al-Baqarah; 155).     
             Masalah bukanlah hal buruk yang patut di jauhi dan ditakuti. Namun sebaliknya, masalah adalah “buah segar” yang selalu memberi harapan akan sebuah kelezatan, kenyamanan, kekanyangan saat waktu panen tiba. Dan pada akhirnya akan mengantarkan kita pada keindahan hidup dengan kematangan proses menuju kehidupan yang ideal .
Meski demikian, sebagai seorang yang mendambakan kesuksesan, setelah melihat kesuksesan ternyata banyak tersembunyi di balik tirai permasalahan, kita jangan lantas “menantang” masalah untuk hadir di tengah-tengah kita dengan selalu membuat atau mencarti masalah. Sebagaimana yang telah terpapar diatas, masalah pasti akan datang karena ia adalah bagian dari kehidupan. Hendaknya kedatangannya jangan dipaksakan tapi juga jangan diingkari. Artinya, tentang hadir atau tidaknya suatui masalah, biarkan ia berjalan secara natural (alami). Yang terpenting adalah, hadapi dan jangan pernah lari dari masalah, Karena yeng demikian itu hanya akan memperbesar ruang gerak masalah. 
Dan akhirnya, bersama masalah yang menyiratkan kesuksesan, kami para pemuda pencari kesuksesan “berkomitmen” untuk selalu tegar menghadapai masalah dan tidak kan pernag lari dari masalah. Karena masalah adalah bagian dari kesuksesan kami. Insyaallah

Written by Al-farobi
 21Januari 2012
 

Senin, 09 Januari 2012

Islam dan Perannya dalam Membatasi Ruang Gerak Pluralisme


Saat ini, era globalisasai dan modernisasi telah menjamah sebagian besar peradaban dunia tanpa terkecuali. Hampir semua aspek kehidupan yang meliputi  sosial, ekonomi, politik, budaya sampai pada agama mengamini serta terlibat dalam semarak modernisasi peradaban dunia. Disadari atau tidak, modernisasi dewasa ini seakan telah menjadi kiblat peradaban yang wajib diikuti sebagai bagian dari tuntutan zaman. Akibatnya, mereka yang enggan menjeburkan dirinya kedalam arus modernisasi, dengan sendirinya akan menjadi kaum tradisionalis yang tersisihkan. Satu hal yang tidak kita pungkiri sebagai akibat dari adanya modernisasi, dan telah menjadi hal lumrah dalam jajanan wacana yang kerap kali diperbincangkan, adalah apa yang dikenal dengan Pluralisme.
Merupakan hal yang sangat penting untuk diperbincangkan terkait masalah Pluralisme, adalah Pluralisme yang dikembangkan oleh para teolog keagaman yang mengusung masalah agama (religious pluralism).  Kemajemukan agama yang mewarnai peradaban dunia ternyata juga memberi ruang gerak terhadap peredaran Pluralisme di kalangan agama di seluruh dunia. Pun kehadirannya juga menuntut kejelian sikap dan keteguhan keyakianan, melihat pluralitas dalam agama merupakan hal yang sangat sensitif dan berpotensi  pada terjadinya kesalah-pahaman yang berimplikasi pada tergadaikan-nya aqidah ketuhanan.   
Tentang definisi ekplisit terkait Pluralisme dalam agama, sampai saat ini nampaknya masih terkesan simpang-siur, rancau dan  belum menemukan titik temu pasti yang membuat definisinya “terdudukkan” secara objektif. Hal demikian terjadi karena masih amat banyak mereka yang mengartikan Pluralisme dengan caranya sendiri dengan justifikasi-justifikasi sepihak yang terkesan subjektif. Kaum fundamentalis mengartikan pluralisme dengan interpretasi yang fundamental, kaum sinkretis mengartikannya dengan konsep sinkretisasi.  Alhasil, mulailah bermunculan paham Pluralisme dengan interpretasi yang beraneka ragam berbanding lurus dengan gemuruh pro-kontra terkait masalah Pluralisme, yang tentunya sangat berimplikasi pada semakin suramnya makna esensial Pluralisme yang dapat diterima oleh semua golongan.
Bicara soal makna esensial Pluralisme, Rino Sundawa Putra, seorang Dosen dan Ketua Penerbitan Jurnal Politik dan Pemerintahan Fisip-Unsil dalam salah satu tulisannya yang dimuat pada kolom Wacana Harian Radar Tasikmalaya edisi Senin 25 April 2011 pernah berucap ; Makna Pluralisme yang substansial adalah bagaimana membangun pemahaman Pluralisme yang memiliki nilai toleransi untuk menghargai perbedaan yang timbul akibat keyakinan dari agama yang berbeda dalam konteks atau ranah sosial dan bersifat horizontal  (hubungan manusia dengan manusia) bukan ranah yang bersifat vertical (manusia dengan Tuhan).
Disini, Rino mencoba memberi batasan terhadap ruang gerak Pluralisme dalam agama, hanya sebatas hubungan atau relasi antar manusia. Artinya, untuk hal yang bersifat kemanusian (social relationship)  sikap toleransi  sangat dibutuhkan. Bertoleransi bukan berarti kita mengamini atau membenarkan apa yang menjadi keyakinan mereka yang tak se-agama dengan kita. Tapi bertoleransi merupakan sikap sadar bahwa setiap kita memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidup kita (la-ikraha fiddin),  selain juga sebagai sesuatu yang dapat menengahi dan menjaga persatuan antar umat beragama.
Jika kita sedikit mau menoleh kebelakang, sejenak menyelisik rentetan sejarah dalam menggagas Pluralisme, tampaknya kita akan dapat membuka tabir realitas sejarah yang mengatakan bahwa konsep Pluralisme modern sebenarnya mulai bergema semenjak kehidupan Rasulullah SAW beberapa abad silam kala Rasulullah menjabat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Madinah.  Pada masa itu betapa Rasullulloh telah memberikan penghargaan kepada umat-umat diluar Islam (Yahudi dan kaum Majusi) dalam konteks relasi sosial. Sebagai pemimpin di Madinah Nabi mutlak harus melindungi rakyatnya terlepas dari unsur ras, etnik ataupun agama dan  kepercayaannya. Meski demikian, untuk Pluralisme yang menyenggol masalah aqidah dan syariat beliau tak pernah kompromi. “Agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah agamamu” itulah prinsip yang beliau pegang kukuh saat berinteraksi dengan kalangan non muslim. Demikian itu beliau lakukan semata-mata karena beliau mengetahui sejauh mana Pluralisme boleh diterapkan, dan di titik mana pluralisme harus berhenti beredar.
Akhirnya, tentang apa yang terbaik untuk kita terkait masalah Pluralisme, lagi-lagi sikap dan respon kitalah yang banyak menjadi tumpuan dasar untuk kita tetap dapat melangkah dalam kebaikan dan kebajikan. Jadi, untuk sebuah sikap yang produktif dan bijaksana, nampaknya kita harus kembali pada dasar-dasar Al-Kitab dan As-Sunnah agar tidak terjadi kesalah-pahaman dalam menyikapi Pluralisme yang pada akhirnya membuat kita terpelanting jatuh ke dalam jurang kenistaan. Waallahua’lam..! 
Written by al-farobi
 7 Januari 2012