Senin, 09 Januari 2012

Islam dan Perannya dalam Membatasi Ruang Gerak Pluralisme


Saat ini, era globalisasai dan modernisasi telah menjamah sebagian besar peradaban dunia tanpa terkecuali. Hampir semua aspek kehidupan yang meliputi  sosial, ekonomi, politik, budaya sampai pada agama mengamini serta terlibat dalam semarak modernisasi peradaban dunia. Disadari atau tidak, modernisasi dewasa ini seakan telah menjadi kiblat peradaban yang wajib diikuti sebagai bagian dari tuntutan zaman. Akibatnya, mereka yang enggan menjeburkan dirinya kedalam arus modernisasi, dengan sendirinya akan menjadi kaum tradisionalis yang tersisihkan. Satu hal yang tidak kita pungkiri sebagai akibat dari adanya modernisasi, dan telah menjadi hal lumrah dalam jajanan wacana yang kerap kali diperbincangkan, adalah apa yang dikenal dengan Pluralisme.
Merupakan hal yang sangat penting untuk diperbincangkan terkait masalah Pluralisme, adalah Pluralisme yang dikembangkan oleh para teolog keagaman yang mengusung masalah agama (religious pluralism).  Kemajemukan agama yang mewarnai peradaban dunia ternyata juga memberi ruang gerak terhadap peredaran Pluralisme di kalangan agama di seluruh dunia. Pun kehadirannya juga menuntut kejelian sikap dan keteguhan keyakianan, melihat pluralitas dalam agama merupakan hal yang sangat sensitif dan berpotensi  pada terjadinya kesalah-pahaman yang berimplikasi pada tergadaikan-nya aqidah ketuhanan.   
Tentang definisi ekplisit terkait Pluralisme dalam agama, sampai saat ini nampaknya masih terkesan simpang-siur, rancau dan  belum menemukan titik temu pasti yang membuat definisinya “terdudukkan” secara objektif. Hal demikian terjadi karena masih amat banyak mereka yang mengartikan Pluralisme dengan caranya sendiri dengan justifikasi-justifikasi sepihak yang terkesan subjektif. Kaum fundamentalis mengartikan pluralisme dengan interpretasi yang fundamental, kaum sinkretis mengartikannya dengan konsep sinkretisasi.  Alhasil, mulailah bermunculan paham Pluralisme dengan interpretasi yang beraneka ragam berbanding lurus dengan gemuruh pro-kontra terkait masalah Pluralisme, yang tentunya sangat berimplikasi pada semakin suramnya makna esensial Pluralisme yang dapat diterima oleh semua golongan.
Bicara soal makna esensial Pluralisme, Rino Sundawa Putra, seorang Dosen dan Ketua Penerbitan Jurnal Politik dan Pemerintahan Fisip-Unsil dalam salah satu tulisannya yang dimuat pada kolom Wacana Harian Radar Tasikmalaya edisi Senin 25 April 2011 pernah berucap ; Makna Pluralisme yang substansial adalah bagaimana membangun pemahaman Pluralisme yang memiliki nilai toleransi untuk menghargai perbedaan yang timbul akibat keyakinan dari agama yang berbeda dalam konteks atau ranah sosial dan bersifat horizontal  (hubungan manusia dengan manusia) bukan ranah yang bersifat vertical (manusia dengan Tuhan).
Disini, Rino mencoba memberi batasan terhadap ruang gerak Pluralisme dalam agama, hanya sebatas hubungan atau relasi antar manusia. Artinya, untuk hal yang bersifat kemanusian (social relationship)  sikap toleransi  sangat dibutuhkan. Bertoleransi bukan berarti kita mengamini atau membenarkan apa yang menjadi keyakinan mereka yang tak se-agama dengan kita. Tapi bertoleransi merupakan sikap sadar bahwa setiap kita memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidup kita (la-ikraha fiddin),  selain juga sebagai sesuatu yang dapat menengahi dan menjaga persatuan antar umat beragama.
Jika kita sedikit mau menoleh kebelakang, sejenak menyelisik rentetan sejarah dalam menggagas Pluralisme, tampaknya kita akan dapat membuka tabir realitas sejarah yang mengatakan bahwa konsep Pluralisme modern sebenarnya mulai bergema semenjak kehidupan Rasulullah SAW beberapa abad silam kala Rasulullah menjabat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Madinah.  Pada masa itu betapa Rasullulloh telah memberikan penghargaan kepada umat-umat diluar Islam (Yahudi dan kaum Majusi) dalam konteks relasi sosial. Sebagai pemimpin di Madinah Nabi mutlak harus melindungi rakyatnya terlepas dari unsur ras, etnik ataupun agama dan  kepercayaannya. Meski demikian, untuk Pluralisme yang menyenggol masalah aqidah dan syariat beliau tak pernah kompromi. “Agamaku adalah agamaku dan agamamu adalah agamamu” itulah prinsip yang beliau pegang kukuh saat berinteraksi dengan kalangan non muslim. Demikian itu beliau lakukan semata-mata karena beliau mengetahui sejauh mana Pluralisme boleh diterapkan, dan di titik mana pluralisme harus berhenti beredar.
Akhirnya, tentang apa yang terbaik untuk kita terkait masalah Pluralisme, lagi-lagi sikap dan respon kitalah yang banyak menjadi tumpuan dasar untuk kita tetap dapat melangkah dalam kebaikan dan kebajikan. Jadi, untuk sebuah sikap yang produktif dan bijaksana, nampaknya kita harus kembali pada dasar-dasar Al-Kitab dan As-Sunnah agar tidak terjadi kesalah-pahaman dalam menyikapi Pluralisme yang pada akhirnya membuat kita terpelanting jatuh ke dalam jurang kenistaan. Waallahua’lam..! 
Written by al-farobi
 7 Januari 2012


      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar