Di tengah perkembangan zaman yang kian modernis dan global, yang di tandai dengan galaknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia dituntut untuk bisa mengimbangi roda kehidupan yang melaju begitu kencang dengan arah yang beraneka ragam. Spesifikasi-spesifikasi bidang keilmuan, baik agama, sosial, politik dan sederet bidang lainnya yang kian riuh menjamah kehidupan telah membuat teori keilmuan tumbuh bercabang-cabang dengan garis edar dan ruang lingkup yang kompleks.
Disadari atau tidak, pertumbuhan ilmu berikut cabang-cabangnya yang sedemikian pesatnya secara tidak langsung telah membuka lebar-lebar medan baru bagi ruang gerak perbedaan di kalangan umat manusia. Baik pola pikir dan cara pandang seseorang dalam menanggapi suatu hal, kesemuanya akan banyak dipengaruhi oleh background keilmuan yang telah ia geluti. Yang tentunya akan berakibat pada terciptanya gemuruh perbedaan pandangan yang berbanding lurus dengan riuh teori keilmuan di kalangan kaum modernis.
Layaknya teori hukum alam yang menyimpan dua nilai berbeda dan saling bertolak belakang, yaitu negatif dan positif. Perbedaan pun juga demikian. Di satu sisi ia dapat berakibat negatif, dan di sisi yang lain ia bisa berpotensi positif. Perbedaan akan bernilai negatif disaat manusia tidak lagi arif dalam memaknai perbedaan. Kefanitikan terhadap sebuah pandangan, keyakinan bahwa apa yang menjadi pandangannya adalah suatu kebenaran mutlak, bahkan sampai pada motif melejitkan popularitas terkadang membuat jiwa kita enggan bertemu perbedaan, mengesampingkan nilai-nilai toleransi dan menganggap salah siapa saja yang tak sewarna dan bersimpangan dengan kita. Jika telah demikian, maka bukanlah kebenaran hakiki yang didapat melainkan mulai terkikisnya hubungan silaturrahmi yang bersahabat dan kian menumbuhkan bibit permusuhan antar sesama.
Perbedaan pemahaman syariat–syariat ubudiyah di kalangan penganut NU dan Muhamamdiah, jika tidak disikapi dengan bijak tentunya akan membuat mereka sulit untuk mencapai titik temu yang akan menyatukan mereka. Namun itulah yang terjadi saat ini. Perbedaan penetapan hari raya Idul Fitri, ada atau tidaknya tahlilan, qunut, ziarah kubur dan lainnya, ternyata telah menambah renggang jarak antara dua paham tersebut dan tentunya akan memancing pesona syaitan untuk menyuarakan permusuhan di antar mereka. Yang kesemuanya itu tiada lain disebabkan oleh terlepasnya makna perbedaan yang esensial dari benak mereka. Itulah contoh nyata (real example), betapa perbedaan akan memecah belah golongan jika ia tak lagi dapat arif menyikapinya.
Perbedaan akan berpotensi positif dikala kita sedikit mau untuk membuka mata terhadap realitas kehidupan yang nyatanya kita sendiri terlahir dari perbedaan. Ayah dan ibu selaku orang tua kita adalah dua jenis yang berbeda. Itu berarti bahwa kita harus bersikap bijaksana jika bertemu perbedaan, terlebih perbedaan itu berhubungan dengan keyakinan atau kepercayaan. Maka, sikap arif memang diperlukan agar kita terbebas dari prasangka buruk kepada sesama.
Adanya pria dan wanita, profesi kerja yang berbeda antara satu dan lainnya serta pertumbuhan ilmu pengetahun dan teknologi yang beraneka ragam telah cukup menjadi bukti betapa perbedan banyak menimbun berkah yang indah bagi siapa yang bisa menyikapinya. Jika saja Allah hanya menciptakan wanita tanpa seorang pria, menjadikan manusia dalam satu profesi yang sejenis dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang hanya satu bidang; akankah kehidupan ini akan berjalan berkesinambungan dan saling melengkapi?, tentu tidak akan mungkin !!. Maka biarkan perbedaan menebar berkahnya sebagaimana aliran air sungai yang senantiasa mengobati dahaga penduduk saat airnya mengaliri sebuah perkampungan.
Untuk mendapatkan angka sepuluh tidak harus lima ditambah lima. Tiga dan tujuh, empat dan enam, bahkan satu dan sembilan pun juga dapat menghasilkan nilai akumulatif sepuluh. Artinya, sebuah kebenaran tidak hanya memiliki satu jalan yang menjadi akses agar dapat sampai pada kebenaran yang esensial. Tapi untuk mencapai kebenaran, Tuhan bentangkan berpuluh-puluh bahkan beribu-ribu jalan yang berbeda dan beraneka ragam, yang dengan itu semua kita berhak untuk menentukan jalan mana yang harus kita lalui. Lantas apa yang membuat kita kita tetap “candu” dengan cekcok perbedaan yang pada kenyataannya itu tidak akan membuat kita menjadi sama.
Perbedan tidak perlu dicela karena perbedaan bukanlah hal hina yang tidak memberi buah terhadap kehidupan. Sesuatu yang hina pun, misalnya, daging babi, khmar, bangkai, jika disikapi dengan benar akan menghasilkan manfaat yang bisa dipetik. Dan perlu kita ketahui bersama bahwa pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan saat ini, adalah perbedaan yang menjadi salah satu faktor penyebabnya. Jadi, untuk bisa menggali berkah dari perbedaan, lagi-lagi sikap dan respon kitalah yang banyak menentukan; apakah perbedaan akan menjadi rahmat (Al-Ikhtilafu Rahmatun), atau hanya akan menjadi sebab perpecahan (Al-Ikhtilafu Firqatun), sebagaimana yang terjadi saaat ini. Sikapi perbedaan dengan bijaksana, terima keberadaannya di tengah-tengah kita dan tetap tebar senyum manis antar sesama meski berbeda. Karena nyatanya perbedaan itu indah seindah pelangi dengan akumulasi warna yang perbeda-beda. Wallahua’lam.
Written by Alfarobi
31 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar