Kamis, 13 Januari 2011

Sekilas Kutipan dari Pengalaman Sang Aku

Banyak hal dari kehidupan ini yang bisa kita jadikan sebuah pelajaran, sekaligus sebagai media introspeksi diri yang nantinya bisa kita jadikan sebuah parameter kebaikan. Diantaranya itu adalah pengalaman, baik itu pengalam pribadi atau pengalaman orang lain. Tidak ada salahnya jika kita menelisik sebuah pengalaman dari perjalanan awal seseorang di dunia jurnalistik, sebut saja seorang itu adalah “Aku”.

#####

Setelah beberapa bulan aku duduk di bangku SMA kelas 2, terlintas ide untuk tergabung dalam tim jurnalistik sekolah baik itu di KIR ataupun di Majalah. Nah..., sejak saat itulah aku memulai dunia baruku dengan jurnalistik. Tanpa aku sadari ternyata bergabungnya aku di dunia jurnalistik, telah membuatku lupa dengan kesibukanku sebelumnya, kesibukan dengan dunia keteraturan angka. Keteraturan angka yang telah mengajariku banyak hal. Sejak aku berkelut dengan angka-angka dan beberapa penghitungan aku terstimulus untuk berpkir tentang segala sesuatu di dunia ini yang rupanya tercipta dengan sangat teratur. Semuanya telah melalui penghitungan dengan tingkat ketelitian yang cukup tinggi dan berpola sangat beraturan, Subhanallah..
Sejak saat itu aku belajar bersyukur atas semua hal dan sejak saat itu pula sudut pandangku pada sesuatu mulai berubah cukup rasional. Segala sesuatu itu adalah ilmiah, dengan keteraturan dan penghitungan yang ilmiah pula. Ini adalah nikmat yang luar biasa bagi aku..:)
Namun.., aku tidak bisa bertahan lama dalam kesibukan dengan angka-angka tersebut.  Mencapai titik jenuh dan mulai terlepas dari rutinitas bukan berarti aku juga terlepas dengan apa yang telah aku dapatkan. Sudut pandangku masih sama dan intensitas syukurku pada Sang Kuasa pun masih sama, dan semoga seiring waktu berjalan ini semua bertambah. Amiin..

####

Angka-angka yang pernah hiasi hari-hariku di masa silam rupanya telah mengantarku pada puncak titik jenuh, titik jenuh yang tak mungkin lagi aku paksakan dan aku banggakan. Status palsu dari sebuah perjuangan sempat melekat dalam diriku, status sebagai seorang ahli hitung dengan cita-cita menjadi seorang matematikawan. Mengingat hal itu, acapkali aku merasa geli dan ingin tertawa sendiri. Bagiku hal itu adalah sebuah humor dari panggung kehidupan yang mungkin tidak akan bisa dimengerti oleh orang lain kecuali pelaku utamanya. Pelaku utama?? Yaps, dalam hal ini pelaku utamanya itu adalah “aku”.
Aku kadang tak percaya tentang eksistensi diriku kala itu, benarkah aku sempat populer di dunia Matematika?? Benarkah aku sempat kecanduan angka dan setumpuk teori-teorinya?? Dan benarkah namaku telah terabadikan diantara deretan nama-nama sang Juara dalam tumpukan berkas kusam di beberapa instansi???. Hidup memang tak ubahnya roda yang berputar dan akan terus berputar, baru kemaren aku berkelut dengan angka-angka dan sekarang aku telah berada di dunia kata dengan atmosfer yang sangat berbeda. Sangat berbeda,
Dunia kata, dunia jurnalistik, dunia penuh warna!! Itulah kesanku pada dunia tulis-menulis yang telah memberiku banyak hal berharga. Hal berharga yang pastinya telah mengantarku pada gerbang perubahan hidup yang tak lagi menjadikanku hamba pada egoisme demi sebuah ambisius. Kamuflase diri yang seringkali menjadi kedok dalam ikhtiarku kini tidak lagi ada, dalam dunia kata, yang ada hanyalah keikhlasan. Keikhlasan yang melahirkan untaian kata penuh makna dan mutiara ilmu bagi setiap pembacanya.
Bagiku dalam menulis, keikhlasan adalah faktor utama yang yang akan mendorong kita untuk menuangkan ide. Sulit atau bahkan bisa dibilang tidak mungkin, seorang penulis dapat menulis dan melahirkan karya-karyanya dengan terpaksa. Dengan ikhlas tanpa ada unsur paksaan, mereka para penulis menuangkan ide serta pemikiran ilmiahnya lewat tarian penanya. Dalam hal ini, Cukup banyak contoh nyata yang bisa dijadikan cerminan. Salah satunya Sang Penulis hebat,Helvy Tiana Rosa (HTR). Sosok seorang  perempuan yang menjadi salah satu inspirasi bagiku. Dengan sederetan prestasi di bidang jurnalistik, beliau telah melahirkan banyak karya yang sampai sekarang telah memberikan kontribusi besar bagi dunia pendidikan serta pekembangan dan kemajuan Islam. Tidak hanya itu, masih banyak serentetan nama seperti;  Andrea Hirata, Fediriva Hamzah, Asma Nadia, Afifah Afra, O.Solihin, Habibur Rahman E., dan lainnya, merekalah penulis-penulis hebat yang dimiliki Indonesia. Mereka telah mewarnai dunia pengetahuan engan karya-karyanya. Mereka telah menjadi inspirasiku.
Perjalananku di dunia jurnalistik memang masih seumur jagung atau bahkan kurang dari itu. Awalnya, mungkin bisa dikata aku berkelut di dunia tulis-menulis ini hanyalah sebuah pelarian. Pelarian dari kejenuhan dan kebosanan yang selama ini aku paksakan, aku tak bisa melampiaskan semua perasaanku hanya lewat oret-oretan angka, setumpukan kamus bahasa asing, kesibukan organisasi atau yang lainnya. Aku tak bisa melimpahkan semua keluhan dan kepuasan dengan leluasa.
Well, alhamdulillah.. meski demikan tapi dengan semua aktivitasku sbelumnya itu aku bisa mendapatkan ilmu serta segudang pengalaman yang tidak bisa diukur oleh apapun. Namun, tetap saja aku masih merasa terpenjara dalam diriku sendiri. Semua yang aku lakukan belum sepenuhnya memberiku kepuasan dan kesenangan tersendiri. Aku yang notabenenya sebagai salah satu aktivis organisasi serta siswa yang cukup aktif memang mempunyai relasi banyak. Tapi itu semua tidak bisa menemani kesepianku. Kesepian?? Yaps.., itulah satu kata yang menurut aku sangat pantas untuk aku tujukan pada diriku sendiri kala itu. Aku tidak tahu mengapa sedemikan, jika Anda bertanya maka aku pun bingung untuk menjawabnya. Tapi sudahlah nggak usah dipermasalahkan atau diperdebatkan.
Banyak sekali hal berharga yang aku dapatkan dari dunia tulis-menulis, aku bisa menambah wawasanku, aku bisa berbagi ide + pemikiran, aku bisa melahirkan karya yang insyaAllah bermanfaat dan juga aku bisa melimpahkan semua yang aku rasa dengan leluasa. Pena, kertas serta laptop/ komputer yang sering aku gunakan dalam menuangkan ide, perasaan atau pemikiran tak pernah mengeluh satu kalipun. Mereka juga tak pernah menolak dan bekhianat, mereka bisa dipercaya. Kadang aku berpikir, adakah orang yang memiliki tipikal seperti itu, tulus menjadi temanku, sahabatku, atau bahkan lebih dari itu. Tapi.. sudahlah seperti apapun keinginanku untuk menyamakan 2 hal yang hidup dan mati tidak akan pernah ketemu titik pangkalnya, karena pada hakekatnya mereka eamng dua hal yang sangat berbeda. 
Satu hal terpenting dari sekilas pengalamanku di dunia jurnalistik adalah, suatu kesenangan tersendiri ketika aku bisa berbagi. Dengan segala ketidaksempurnaan dan kekuranganku, yang bisa aku berikan dan aku bagikan adalah oretan-oretan artikelku. Semoga semua itu bermanfaat khususnya bagi aku. Harapanku, semoga kelak di tengah kesibukanku yang notabenenya adalah seorang wanita aku masih bisa berbagi dan berkiprah di dunia pengetahuan lewat karya-karyaku. Amiin..
Itulah sekilas pengalaman dari sebuah catatan seseorang yang mengatasnamakan dirinya "Aku", dari pengalaman itu ada hal berharga yang bisa kita jadikan refleksi dan mediasi introspeksi diri. 
The last.., buat semua teman-teman.., semua orang termasuk kita bisa menulis dan melahirkan karya-karya inspiratif. Hal berharga yang kita punya adalah pemikiran dan kemauan kita. Pemikiran sebagai bentuk respon subjektif terhadap suatu objek, dan kemauan tuk mengetahui dan memberikan yang terbaik di setiap hal. Go ahead with journalism..,^_+

Naili,
13 Januari 2011

Rabu, 12 Januari 2011

Yang Ter_asingkan


Pengekangan bertopeng indah kebebasan
Diantara keangkuhan & kegoisan,
Sepi merindukan indahnya kebersamaan
Cukuplah pengkhianatan yang ingatkan dia tentang arti kesetiaan
               Tidakkah sekali terpikirkan?
               Satu kisah tentang dia yang tak terabadikan sejarah,
               Kerasnya kehidupan yang coba temukan titik bahagia
              Meski hanya tertatih yang dia bisa
              Karena, kini bulir-bulir air matanya
              Harapkan pendar-pendar cahaya dari manisnya sebuah senyuman
Kawand seperjuangan…
Inilah dinamika kehidupan
Dari catatan terasingkan
Yang acapkali terbaikan oleh peradaban
                                                             Nai_li, 12 Januari'11

Dalam Kata


Aku tetap ada
Meski hanya lewat kata
Semua terka tak terbuka
Membungkam, indah membingkai luka
Aku tetap ada,
Menyendiri bersama indah nada
Sumbang dalam eforia roman nyata
Tentang seorang aku dalam kata
Aku tetap ada,
Dekat di jauh mata
Menelisik indah belukar cita cinta
Rimbun hutan rimba kata
Aku tetap ada,
Terpenjara bebas indah kata
Melena tarian maya dalam nyata
Terbuai mutiara tak bermuara kata
Dunia kata tak merata nyata
Dan aku masih dalam Tanya kata
Bualan ataukah nyata..??!?!?!?!
                                            Nai_li, 5 januari'11
                                      

Jumat, 07 Januari 2011

Sepi dalam Sunyi


Bersua meski Nampak kelam
Asa dalam cerita masa silam
Tiada sirna dalam redup cahaya malam
 cita cinta tertata dalam panggung nyata
terangkai indah meski dalam dunia kata    
Tak ada yang mengetahui atau sekedar mau mengerti
Dan aku, Tetap sendiri meniti sepi dalam sunyi
Semakin terhanyut tarian jari-jemari
Menelisik indah bait dalam deretan sajak puisi ini

 Hey semua..., 
Ini bukanlah sebuah kamuflase
Atau sekedar stereotip pada kisah esok hari
Tapi sebuah ikrar hati
Kala mentari menyapa indah bening embun pagi
                                                                           Naili, 26 Juli 2010

UN ANTARA DEPRESI DAN REKONTRUKSI EKSISTENSI

      Sejak digulirkan, UN kian menuai kontroversi dan kritik dari khalayak yang seakan memburamkan kontribusinya. Tak salah jika penulis mengambil statement tegas diatas sebagai kalimat pembuka dan inti dari hasil olah pikir yang tergores diatas lembaran sarat akan aspek kognitif-informatif ini.
      Tak lama lagi perhelatan akbar tahunan dunia pendidikan kembali akan digelar. Berbagai macam perbaikan dan perubahan sistem terus dilakukan pemerintah, berharap hasil UN mencapai tingkat maksimal. Namun, jauh panggang dari api, bukan malah perbaikan dan perubahan kearah yang lebih membangun yang didapat, tapi cucuran kritik dan kontroversi dari masyarakat yang mempertanyakan efektifitas UN, serta depresi peserta pasca berakhirnya UN, semakin meningkat. 
      Bisa dibilang wajar, jika masyarakat menilai UN kian menuai depresi dan trauma bagi peserta didik. Betapa tidak, gencatan gugatan UN yang dilakukan orang tua peserta didik yang tak lulus, melalui LBH, kian menambah tumpukan map Mahkamah Agung, bukan karena mereka (orang tua) tak menerima kegagalan anaknya, tapi gugatan itu lebih mengarah pada ketimpangan-ketimpangan sosial-politik dalam pelaksanaan UN dan efek depresi dan trauma yang selalu menghantui peserta didik yang tak suskses. Bukti konkritnya, apa yang telah terjadi pada Indah Kusumaningrum (21). Dara alumni SMA PSKD 7 depok ini sempat mengalami depresi dan trauma pasca mendengar bahwa dirinya “ditakdirkan” tidak sukses dalam pergelaran UN 2009 silam.“saya jatuh dipelajaran Matematika, saya dapat empat. Padahal pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris saya dapat nilai delapan” tutur Indah kecewa. Tidak lekas kelar kekecewaan yang dialami indah, bahkan kekecewaan itu semakin berkecamuk saat indah tahu bahwa tidak sedikit dari temen-temannya yang mendapatkan nilai lima dari tiga pelajaran terpilih namun tetap mendapatkan predikat lulus.Ironisnya, selama tiga tahun pendidikan indah dijenjang SMA prestasi indah jauh lebih tinggi dari temen-temannya yang lulus, baik dari aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun na’as, harapan untuk bisa mendatkan ijazah SMA harus kandas dibawah pelajaran Matematika yang hanya selisih nol koma.“Nampaknya nilai delapan dan prestasi saya selama ini terkesan imajiner (tak berguna) di mata pemerintah” seru indah.
      Menurut ketua Komnas Perlindungan Anak (KPA), Seto Mulyadi, sedikitnya ada 100 anak mengalami depresi dan trauma akibat tidak lulus UN, dan empat anak mencoba bunuh diri, salah satunya tak tertolong, juga 305 pengaduan seputar UN menumpuk di KPA.
      Dari sekian problematis refleksi UN, Nampak wajar jika perhelatan UN dalam ranah pendidikan nasional kian menuai kontroversi dan kritik dari masyarakat, menuntut perubahan konsep dan sistem UN yang lebih merekontruksi intelektual dan spiritual anak didik serta jauh dari ketimpangan-ketimpangan sosial-politik, ulah tangan-tangan pendidik yang tak bertangguyng jawab.
     B. Pakuwinata dalam majalah Qalam edis 09, menyatakan bahwa banyaknya kontroversi dan kritik serta ketimpangan-ketimpangan dalam tubuh UN tak lain disebabkan oleh beberapa faktor.Pertama, beban mental siswa terlalu berat, karena dituntut merangkum ilmu-ilmu yang dipelajarinya selama tiga tahun dalam satu momen ujian. Kedua, karakter UN yang unhumanis (kurang memenusiakan manusia), karena indikator kelulusan siswa hanya ditentukan oleh hasil akhir dari tiga pelajaran terpilih, tanpa memperhatikan aspek kognitif, afektif dan psiokomotorik siswa sebagai barometer kelulusan. Sehingga UN Nampak bersifat egois dan non-pertisipatif, karena sekolah tidak bisa andil dalam penentuan kelulusan siswa-siwinya. Ketiga, ketentuan bahwa UN adalah syarat kelulusan, secara tidak langsung telah memaksa lembaga sekolah untuk melakukan segala cara agar anak didiknya dapat lulus 100% dengan dalih “demi nama baik sekolah”.
                                                                            ***
      Meski gugatan UN kian menambah arsip-arsip Mahkamah Agung, namun pemerintah nampak kalot dalam mengambil sikap. “Sudah tahu bahwa depresi dan trauma akibat UN kian menjadi-jadi, malah standar nilai kelulusan kian ditingkatkan. Sudah tahu UN kian menuai kontroversi dan kritik dari masyarakat, eh tetap saja UN dijadikann syarat kelulusan yang menyiksa dan menakutkan” tutur Al-faroby.
      Alih-alih pemerintah berdalih “UN adalah media rekontruksi eksistensi pendidikan Indonesia dalam ranah dunia internasional. Sehingga UN harus tetap dilaksanakan dan standar kelulusan harus tetap ditingkatkan untuk memompa motivasi siswa dan pendidikan Indonesia tetap dapat bersaing didunia internasional”. Namun, tujuan yang positif nampak kelabu ketika melihat realita yang terjadi. Bukan malah rekontruksi eksistensi yang terjadi, tapi kalkulasi korban UN yang semakain menjadi-jadi, moralitas spiritual peserta didik semakin dan kian terkikis, akibat kebohongan yang mereka lakukan saat UN berlangsung (mencontek) dan tercorengnya nama baik seorang guru sebagai tauladan bagi siwa-siswinya, akibat legalisasi aksi mencontek bagi siswa-siswinya atau bahkan memberikan bocoran jawaban UN kepada siswa-siswinya. Jika sudah demikian, lantas apakah upaya rekontruksi eksistensi pendidikan nasional semakin meningkat ? meski itu terjadi, tak lain hanyalah sugesti yang terimajinalkan (hasil yang sia-sia) yang jauh dari otentitas kemampuan dan pola pikir siswa-siswi Indonesia pada umumnya. Sehingga jika hasil akhir dari pergelaran yang membutuhkan angggaran sampai milyaran rupiah, tenaga dan persiapan yang begitu lama tersebut seperti apa yang tersirat diatas,. Maka tak salah jika UN dianggap sebagai upaya yang sia-sia, karena hanya menghabiskan waktu, dana dan tenaga semua pihak.
                                                                       ***
      Mohammad Nuh (Mendiknas), dalam Koran Jawa Pos, terbitan Senin 20 Desember, Halaman Utama menyatakan, UN 2011 tetep akan dilaksanakn namun dalam bentuk formula baru yang tentunya memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan konsep pelaksanaan UN sebelumnya. Dalam media yang sama, Nuh juga mengatakan bahwa kelulusan peserta didik diserahkan sepenuhnya pada satuan pendidik tempat siswa belejar. Dalam menentukan kelulusan satuan pendidik harus menjadikan empat hal sebagai indikator lulus atau tidaknya peserta didik. Pertama, siswa telah menyelesaikan seluruh program pendidikan. kedua, totalitas moral dan akhlak. Ketiga, siswa lulus Ujian Sekolah dan yang terakhir, sisiwa lulus Ujian Nasional.
       Formula baru yang dirumuskan melalui rapat panitia UN dan Kementrian pendidkan Negara Indonesia, seakan telah menjadi jawaban atas gugatan masyarakat yang mempertanyakan efektifitas UN selama ini, memburamkan wacana negatif UN yang selama ini terdengar riuh ditelinga dan menumbuhkan wacana baru dalam catur jangka pendidikan bangsa, yang tentunya kita harapkan bisa lebih baik.
       Kini, UN tidak lagi menjadi momok yang menakutkan yang kerap membekaskan depresi dan trouma bagi anak bangsa. Pemerintah Indonesia mulai bisa membuka mata akan relaitas UN selama ini. Lentera pendidikan Indonesia akan segera dipetik, cahayanya akan menyeruak keseluruh seantero pertiwi. Senyum sungging anak bangsa kembali merekah setelah pembungkaman. Anak bangsapun berteriak “terimakasih bapak Presiden, terimakasih Mendiknas, UN 2011 siap kami songsong. Wallahua’lam!

MUTIARA DIBALIK PESANTREN YANG MEMAKSA

Baru saja aku selesai menunaikan shalat dhuhur berjama’ah. Meski rasanya tubuhku meronta-ronta kecapeaan refleksi dari padatnya aktifitas setengah hari ini yang sangat meletihkan. Ditambah lagi, nyeri dipahaku kembali menyapa, rasanya ada tali yang mengikat serasa kakiku kaku untuk digerakkan. Namun tetap aku paksaan tubuhku untuk melaksanakan shalat qabliyah dan tetap tegak menghadap sank pemilik seantero.
“Ngapain sholat??.Cetus santri disampingku kepada temannya.
“Toh meskipun sholat cuma karna dipaksa bagian ubudiah saja karena takut mahkamah, percuma!”. Lanjutnya.
Kalimat itu membangkitkan rasa penasaranku, sedikit timbul rasa jengkel sich, meski tak dapat aku salurkan dalam bentuk tegoran atau pukulan, namun aku sempatkan untuk hanya sekedar menoleh dan berkomentar, “Oh anak itu!. Gumamku.
“Cetusnya santai, andai saja dia tahu makna sebuah paksaan, niscaya dia akan menjadi orang yang terbiasa dalam kebaikan”. komentarku dalam hati.
                                                                        ***
Kata orang, pekerjaan yang dilandasi dengan unsur keterpaksaan atau paksaan sangat jauh dari hasil optimal. Contoh kecilnya, sholat tahajud jika dikerjakan dengan terpaksa maka akan banyak kecacatan-kecacatan yang terjadi didalamnya. Seperti; malas, ngantuk, ataupun sulit mencapai khusu’. Jika sudah demikian, harapan untuk diterimapun sangat minim bahkan nihil.
Namun, hal tersebut tak dapat diselaraskan dengan unsur paksaan yang terselubung dibalik balutan disiplin pesantren.
Hal ini dikarenakan orientasi edukatif yang melatarbelaknginya.
Perlu kita ketahui bersama bahwasanya melalui disiplin yang memaksa, pesantren ingin menanamkan terhadap para santrinya sikap disiplin dalam segala hal. Sehingga setelah masa study santri selesai, disiplin yang memaksa tersebut diharapkan dapat terus tertambat dalam sanubari mereka yang senantiasa terefleksi dalam setiap aspek kehidupan di masa depan kelak. Tambatan tersebut tentunya  dalam wujud yang berbeda, yakni wujud kebiasaan diri. Tapi suatu fenomena yang cukup memprihatinkan, dari sekian banyak santri hanya segelintir orang saja yang dapat memaknai urgensi paksaan dalam mentaati disiplin pesantren tersebut.  
Pada umumnya, santri memahami bahwasanya suatu paksaan utamanya dalam hal ibadah itu merupakan sarat ketidak optimalan hasil dan riya’ yang mengarah pada syirik kecil. Alih-alih mereka berdalih, “Pengennya dapat pahala eh, malah dapat dosa!!”.
Memang benar demikian, tapi tidak semuanya demikian. Awalnya, pesantren memang memaksa santri untuk senantiasa mentaati disiplin; baik yang bersifat vertikal (mu’amalah ma”a Allah), Horizontal (mu’amalah ma’a annas) ataupun diagonal frontal (Mu’amalah ma’al bi’ah). Namun seiring dengan rotasi waktu yang terus berevolusi, paksaan itu akan mengalami metamorfosis menjadi kebiasaan jangka panjang jika tidak diiringi dengan pemberontakan-pemberontakan. Nah, dari kebiasan itulah santri dibentuk menjadi pribadi disiplioner yang tidak peduli ruang dan waktu serta tidak terikat dengan posisi dan fungsi. Artinya, kapanpun dan dimanapun dalam kondisi apapun dia berpijak, sikap disiplin akan selalu mewarnai perangainya. Inilah buah manis yang dapat dirasakan dari benih pemaksaan
Namun sebaliknya, jika benih paksaan tidak kunjung berbuah kebiasaan disebabkan adanya pemberontakan-pemberontakan, maka santri tersebut akan menjadi pribadi yang adiktif (ketergantungan). Sikap disiplin yang selama ini ia pupuk lambat laut akan lengser seiring perubahan ruang dan waktu serta posisi dan fungsi. Belum lagi perbuatan yang selama ini ia lakukan, utamanya yang berbentuk ibadah, akan terasa hambar tanpa rasa dan pahala karena ada unsur riya’ yang menjurus pada syirik kecil.
Nampaknya benar selentingan yang belakangan ini kerap mewarnai gendang telinga kita, “lebih baik masuk surga dipaksa dari pada masuk neraka sukarela”. Modal awal untuk masuk wahana syurga tuhan memang bukan paksaan, melainkan keikhlasan. Satu hal yang seringkali terabaikan oleh para santri tentang peranan penting dari eksistensi suatu paksaan. Paksaan  melahirkan kebiasaan yang lambat laun akan menjadikan amal berjalan searah keikhlasan menuju syurga kenikmatan.
Lain halnya dengan orang yang alergi terhadap paksaan dengan dalih keikhlasan dan takut riya’. Dengan keputusan yang tanpa berfikir panjang, ia akan memberontak keluar dari lingkup paksaan-edukatif dalam dunia disiplin, sedang ia mengetahui bahwa esensi pemberontakan itu penuh dengan konsekwensi dan lumrahnya adalah kehancuran. Dengan kata lain, dia telah menjerumuskan dirinya terhadap neraka yang penuh dengan durja secara ikhlas.
Semuanya telah rampung terpapar rapi, terserah anda mau memilih yang mana. Penulis yakin, anda adalah pembaca yang memiliki intelektualitas cukup tinggi. Maka dari itu, tentunya anda dapat selektif dan profesional dalam menuntukan sikap. Penulis pun yakin, meski hanya dalam bentuk testimoni, nurani anda masih tetap dapat menerima kebenaran walau nyatanya pahit dan sulit. Maka pilihlah dengan mengikuti kata hati anda, demi perbaikan anda sekarang dan untuk kehidupan Anda di masa depan. Jalan Anda ada dalam langkah Anda,Wallahua’lam!