Alam Indonesia menyimpan kekayaan yang berlimpah ruah dengan kepulauan yang
membentang dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan alam baik hayati maupun tambang
tersimpan dibalik lautan lepas, tanah yang subur serta iklim tropis yang
menjadikan apa yang tertanam menjadi tumbuh segar. Tak berlebihan jika kemudian
Indonesia diibaratkan seperti zamrud di khatulistiwa, kaya nan hijau alamnya. Mungkin
hal ini juga yang kemudian menarik perhatian para penjajah dari belanda dan
jepang yang sempat beberapa dekade menguasai kekayaan alam Indonesia dan meraup
keuntungan dengan eksplorasi hasil bumi Indonesia.
Tapi ironisnya, kekayaan alam yang
demikian melimpah yang sejatinya sangat berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
secara keseluruhan, nyatanya tidak mampu mendangkalkan jurang kemelaratan
masyarakat Indonesia sejak zaman orde lama sampai reformasi saat ini. Begitu
miris kenyataannya, sudah sejak lama Indonesia merdeka dari tangan-tangan jahil
para penjajah, tapi sampai saat ini sepertinya Indonesia belum bisa melangkah
sendiri untuk mewujudkan kemandiriannya dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi
masyarakatnya. Ya, Indonesia belum sepenuhnya lepas dari ketergantungannya pada negara-negara lain yang sejatinya mereka
pernah menorehkan luka dan kepedihan di benak masyarakat Indonesia.
Salah satu bukti ketidakmandirian
Indonesia yang sampai saat ini masih ada dan bahkan semakin meningkat, tercermin
di dalam pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar
negeri. Menurut data resmi yang dikeluarkan oleh
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), hingga tahun 2012, jumlah TKI yang bekerja di
luar negeri telah mencapai 3.998.592 orang dan itu tentunya belum mencakup
jumlah TKI ilegal yang sampai saat ini belum ter-cover jumlahnya.
Adapun salah satu alasa utama seseorang memutuskan untuk menjadi
TKI adalah tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga. Hal ini disebabkan
minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia utamanya bagi masyarakat golongan
bawah yang memiliki keterampilan pas-pasan, dan ada pula sebagian TKI yang
beralasaan karena nominal gaji yang ditawarkan oleh negara lain lebih menjanjikan.
Meski demikian, jika para TKI ini bisa
memilih, rasanya bekerja di negara
sendiri lebih diminati oleh kebanyakan TKI daripada harus keluar dari kampung halaman.
Menjadi TKI, banyak hal yang harus dipertimbangkan, diantaranya yaitu: jauh dari sanak keluarga dan meninggalkan
anak-anak, yang sangat berpotensi akan menjerumuskan anak ke dalam lembah hitam
pergaulan remaja kekinian sebagai akibat minimnya perhatian dan pengawasan
orang tua. Belum lagi kabar tragis para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar
negeri yang sampai saat ini masih belum bisa teratasi. Setidaknya dalam tiga
tahun terakhir, mulai dari kasus penyiksaan, pemerkosaan hingga yang paling
tragis yaitu maut menjemput mereka. Hal ini tentunya menjadi momok yang amat
menakutkan bagi para TKI Indonesia yang pada akhirnya membuat hidup mereka di
luar sana penuh kekawatiran dan
ketidaktenangan.
Indonesia adalah negara dengan
jumlah penduduk terbesar keempat setelah China, India dan Amerika Serikat.
Hingga tahun 2012, jumlah
penduduk Indonesia telah mencapai 244.775.796 jiwa. Jumlah penduduk yang demikian banyak ini jika tidak diimbangi
dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang cukup maka akan berakibat pada
terciptanya masalah-masalah baru yang bertalian erat dengan perekonomian
masyarakat. Realita ini dapat dilihat pada besarnya jumlah pengangguran di
Indonesia. Sampai saat ini, jumlah pengangguran di Indonesia lebih dari 7,24 juta orang.
Lebih ironis lagi, dari sekian banyak jumlah penggangguran yang ada ternyata
ditemui sebagian yang masih memiliki potensi secara akademik dan bahkan telah
lulus sarjana. Hal ini dikarenakan
minimnya ketersedian lapangan kerja sementara jumlah peminat sangat banyak. Sehingga, bagi mereka yang tidak bisa
bertahan dalam arena persaingan hebat itu, harus bersabar diri dan menerima
dengan lapang dada status pengangguran terdidik yang diselendangkan di
pundaknya.
Inilah realitas miris yang sudah
pasti menambah pekerjaan rumah para petinggi negara ini. Tapi tidaklah bijak
jika pemerintah hanya menyudutkan masyarakat saja dan menganggap mereka sebagai
sumber dari masalaha ini dengan beralasan minimnya potensi yang mereka miliki.
Jikapun harus demikian adanya, barangkali pemerintah juga perlu memfokuskan perhatiannya
pada masyarakat yang tinggal di pinggiran kota atau pelosok desa, dimana
sebagian besar dari mereka tidak pernah tampil di panggung pendidikan formal
saat masa remaja dan kanaknya. Hal ini disebabkan minim dan bahkan tidak adanya
biaya sehingga ketika dewasanya mereka harus berpangku tangan karena tidak ada
perusahaan yang membutuhkan kiprahnya. Maka dari itu, pemerintah dalam mencari problem solving dari masalah ini haruslah
mengupayakan bisa menyentuh masyarakat secara keseluruhan, baik perkotaan ataupun
pedesaan, terdidik ataupun yang tidak terdidik. Sehingga, arah perekonomian
Indonesia nantinya benar-benar bisa dirasakan oleh rakyat.
Fenomena yang memprihatinkan, mengingat
fakta bahwa Indonesia adalah zamrud khatulistiwa yang limpah dengan kekayaan
alam dan budaya tapi sampai saat ini masih belum menikmati keberlimpahannya.
Ini adalah sebuah bukti bahwa manfaat ekonomis yang terbesar memang bukan
berpihak kepada siapa yang memiliki atau memperoleh kekayaan alam tapi berpihak
pada siapa yang mampu memasarkan produk dengan nilai tambah terbesar. Itu artinya
indoneia sampai saat ini belum memiliki pelaku pasar yang cukup yang bisa
mengelola dan memasarkan kekayaan yang dimilikinya.
Dalam menyikapi masalah tersebut, nampaknya
pendidikan kewirausahaan yang bertujuan membangun kecakapan entrepreneurship (kecakapan mengelola
pasar) perlu dikenalkan sejak dini pada generasi muda. Dalam hal ini, mahasiswa
yang notabene-nya sebagai pemuda dan kerap
dielu-elukan sebagai The agent of change,
the agent of social control and iron stock, merupakan benih unggul yang diharapkan mampu
membawa perubahan lebih baik bagi Indonesia. Selain sebagai aset
berharga untuk masa depan Indonesia, mahasiswa juga merupakan intelektual muda dan insan mahir yang
sangat memungkinkan untuk mengemban amanah ini.
Perlu diketahui bersama bahwa
pendidikan entrepreneurship pada
mahasiswa diorientasikan untuk membentuk kader-kader entrepreneur. Sumber daya manusia yang kaya
dengan ragam potensi dimasukkan dalam cetakan yang seragam, yaitu dibentuk
untuk jadi
entrepreneur.
Hal ini bertujuan agar nantinya mereka bisa mengisi pos-pos masyarakat dan
membebaskan mereka dari keterlilitan masalah ekonomi dengan menciptakan
lapangan kerja baru dan memutuskan mata rantai ketidakmandirian negara
Indonesia. Namun, hal ini nyatanya masih sangat jauh dari apa yang ada sekarang.
Pola pendidikan yang kita terapkan saat ini belum mengarah pada terbentuknya kader-kader
entrepreneur. Jika pun ada, hanya segelintir
saja dan itu pun belum juga maksimal.
Selama ini, pendidikan entrepreneurship yang ada di perguruan
tinggi hanya sebatas selingan dan hanya sebagai
topik seminar. Sedang implementasi kearah yang lebih real tentang kewirausahaan belum begitu
disentuh oleh kebanyakan mahasiswa.
Pendidikan kita kebanyakan masih mempertahankan dan berkutat pada
bagaimana mempersiapakan kader dan lulusan yang cakap intelektualnya sehingga
mudah diterima di perusahaan-perusahan pemerintah ataupun swasta. Hal itu juga
yang kemudian menyumbat laju “greget” pada jiwa mahasiswa untuk menekuni
wirausaha.
Maka dari itu, pendidikan entrepreneurship
pada mahasiswa perlu kiranya dimaksimalkan dan lebih diproporsionalkan.
Harapannya, mahasiswa akan tergerak untuk menjadi entrepreneur masa depan nantinya. Selain itu, kampus sebagai sarana tranformasi nilai-nilai
pengetahuan juga diharapkan dapat memperkaya keterampilan mereka dengan beragam
teori mengenai kewirausahaan sekaligus menyediakan sarana berwirausaha.
Sehingga, mahasiswa benar-benar mendapatkan asupan teori dan pengalaman sebagai
bentuk latihan dini sebelum akhirnya mereka benar-benar terjun di medan yang
sesungguhnya.
Dan sangat disadari bahwa hal itu tidak akan rampung dalam sekejap.
Butuh rentang waktu yang amat panjang untuk bisa mewujudkan cita-cita besar
bangsa ini. Tetapi, optimisme dan harapan besar tetap harus kita selempangkan,
utamanya di pundak para generasi muda. Perlu kita ingat bahwa tidak menutup
kemungkinan beberapa tahun ke depan generasi muda kita mampu merobohkan tebing
tinggi yang selama ini memisahkan masyarakat Indonesia dengan kesejahteraan
hakikinya. Semoga!
"Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari
http://www.bankmandiri.co.id dalam rangka memperingati HUT Bank Mandiri
ke-14. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan.“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar