Selasa, 13 November 2012

OPTIMALISASI PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN PADA MAHASISWA SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN INDONESIA


Alam Indonesia menyimpan kekayaan yang berlimpah ruah dengan kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan alam baik hayati maupun tambang tersimpan dibalik lautan lepas, tanah yang subur serta iklim tropis yang menjadikan apa yang tertanam menjadi tumbuh segar. Tak berlebihan jika kemudian Indonesia diibaratkan seperti zamrud di khatulistiwa, kaya nan hijau alamnya. Mungkin hal ini juga yang kemudian menarik perhatian para penjajah dari belanda dan jepang yang sempat beberapa dekade menguasai kekayaan alam Indonesia dan meraup keuntungan dengan eksplorasi hasil bumi Indonesia.  
Tapi ironisnya, kekayaan alam yang demikian melimpah yang sejatinya sangat berpotensi  untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan, nyatanya tidak mampu mendangkalkan jurang kemelaratan masyarakat Indonesia sejak zaman orde lama sampai reformasi saat ini. Begitu miris kenyataannya, sudah sejak lama Indonesia merdeka dari tangan-tangan jahil para penjajah, tapi sampai saat ini sepertinya Indonesia belum bisa melangkah sendiri untuk mewujudkan kemandiriannya dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakatnya. Ya, Indonesia belum sepenuhnya lepas dari ketergantungannya  pada negara-negara lain yang sejatinya mereka pernah menorehkan luka dan kepedihan di benak masyarakat Indonesia.
Salah satu bukti ketidakmandirian Indonesia yang sampai saat ini masih ada dan bahkan semakin meningkat, tercermin di dalam pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Menurut data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI),  hingga tahun 2012, jumlah TKI yang bekerja di luar negeri telah mencapai 3.998.592 orang dan itu tentunya belum mencakup jumlah TKI ilegal yang sampai saat ini belum ter-cover jumlahnya.
Adapun salah satu alasa utama seseorang memutuskan untuk menjadi TKI adalah tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga. Hal ini disebabkan minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia utamanya bagi masyarakat golongan bawah yang memiliki keterampilan pas-pasan, dan ada pula sebagian TKI yang beralasaan karena nominal gaji yang ditawarkan oleh negara lain lebih menjanjikan. Meski demikian, jika para TKI ini  bisa memilih,  rasanya bekerja di negara sendiri lebih diminati oleh kebanyakan TKI daripada harus keluar dari kampung halaman. Menjadi TKI, banyak hal yang harus dipertimbangkan, diantaranya yaitu:  jauh dari sanak keluarga dan meninggalkan anak-anak, yang sangat berpotensi akan menjerumuskan anak ke dalam lembah hitam pergaulan remaja kekinian sebagai akibat minimnya perhatian dan pengawasan orang tua. Belum lagi kabar tragis para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang sampai saat ini masih belum bisa teratasi. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, mulai dari kasus penyiksaan, pemerkosaan hingga yang paling tragis yaitu maut menjemput mereka. Hal ini tentunya menjadi momok yang amat menakutkan bagi para TKI Indonesia yang pada akhirnya membuat hidup mereka di luar sana penuh kekawatiran dan ketidaktenangan.
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat setelah China, India dan Amerika Serikat. Hingga tahun 2012, jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 244.775.796  jiwa. Jumlah penduduk yang demikian banyak ini jika tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang cukup maka akan berakibat pada terciptanya masalah-masalah baru yang bertalian erat dengan perekonomian masyarakat. Realita ini dapat dilihat pada besarnya jumlah pengangguran di Indonesia. Sampai saat ini, jumlah pengangguran di Indonesia lebih dari 7,24 juta orang. Lebih ironis lagi, dari sekian banyak jumlah penggangguran yang ada ternyata ditemui sebagian yang masih memiliki potensi secara akademik dan bahkan telah lulus sarjana.  Hal ini dikarenakan minimnya ketersedian lapangan kerja sementara jumlah peminat sangat banyak.  Sehingga, bagi mereka yang tidak bisa bertahan dalam arena persaingan hebat itu, harus bersabar diri dan menerima dengan lapang dada status pengangguran terdidik yang diselendangkan di pundaknya.
Inilah realitas miris yang sudah pasti menambah pekerjaan rumah para petinggi negara ini. Tapi tidaklah bijak jika pemerintah hanya menyudutkan masyarakat saja dan menganggap mereka sebagai sumber dari masalaha ini dengan beralasan minimnya potensi yang mereka miliki. Jikapun harus demikian adanya, barangkali pemerintah juga perlu memfokuskan perhatiannya pada masyarakat yang tinggal di pinggiran kota atau pelosok desa, dimana sebagian besar dari mereka tidak pernah tampil di panggung pendidikan formal saat masa remaja dan kanaknya. Hal ini disebabkan minim dan bahkan tidak adanya biaya sehingga ketika dewasanya mereka harus berpangku tangan karena tidak ada perusahaan yang membutuhkan kiprahnya. Maka dari itu, pemerintah dalam mencari problem solving dari masalah ini haruslah mengupayakan bisa menyentuh masyarakat secara keseluruhan, baik perkotaan ataupun pedesaan, terdidik ataupun yang tidak terdidik. Sehingga, arah perekonomian Indonesia nantinya benar-benar bisa dirasakan oleh rakyat.
Fenomena yang memprihatinkan, mengingat fakta bahwa Indonesia adalah zamrud khatulistiwa yang limpah dengan kekayaan alam dan budaya tapi sampai saat ini masih belum menikmati keberlimpahannya. Ini adalah sebuah bukti bahwa manfaat ekonomis yang terbesar memang bukan berpihak kepada siapa yang memiliki atau memperoleh kekayaan alam tapi berpihak pada siapa yang mampu memasarkan produk dengan nilai tambah terbesar. Itu artinya indoneia sampai saat ini belum memiliki pelaku pasar yang cukup yang bisa mengelola dan memasarkan kekayaan yang dimilikinya.
Dalam menyikapi masalah tersebut, nampaknya pendidikan kewirausahaan yang bertujuan membangun kecakapan entrepreneurship (kecakapan mengelola pasar) perlu dikenalkan sejak dini pada generasi muda. Dalam hal ini, mahasiswa yang notabene-nya sebagai pemuda dan kerap dielu-elukan sebagai The agent of change, the agent of social control and iron stock,  merupakan benih unggul yang diharapkan mampu membawa perubahan lebih baik bagi Indonesia. Selain sebagai aset berharga untuk masa depan Indonesia, mahasiswa juga merupakan intelektual muda dan insan mahir yang sangat memungkinkan untuk mengemban amanah ini.           
Perlu diketahui bersama bahwa pendidikan entrepreneurship pada mahasiswa diorientasikan untuk membentuk kader-kader entrepreneur. Sumber daya manusia yang kaya dengan ragam potensi dimasukkan dalam cetakan yang seragam, yaitu dibentuk untuk jadi entrepreneur. Hal ini bertujuan agar nantinya mereka bisa mengisi pos-pos masyarakat dan membebaskan mereka dari keterlilitan masalah ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja baru dan memutuskan mata rantai ketidakmandirian negara Indonesia. Namun, hal ini nyatanya masih sangat jauh dari apa yang ada sekarang. Pola pendidikan yang kita terapkan saat ini belum mengarah pada terbentuknya kader-kader entrepreneur. Jika pun ada, hanya segelintir saja dan itu pun belum juga maksimal.
Selama ini, pendidikan entrepreneurship yang ada di perguruan tinggi hanya sebatas selingan dan hanya sebagai  topik seminar. Sedang implementasi kearah yang lebih real tentang kewirausahaan belum begitu disentuh oleh kebanyakan mahasiswa.  Pendidikan kita kebanyakan masih mempertahankan dan berkutat pada bagaimana mempersiapakan kader dan lulusan yang cakap intelektualnya sehingga mudah diterima di perusahaan-perusahan pemerintah ataupun swasta. Hal itu juga yang kemudian menyumbat laju “greget” pada jiwa mahasiswa untuk menekuni wirausaha.   
Maka dari itu, pendidikan entrepreneurship pada mahasiswa perlu kiranya dimaksimalkan dan lebih diproporsionalkan. Harapannya, mahasiswa akan tergerak untuk menjadi entrepreneur masa depan nantinya. Selain itu,  kampus sebagai sarana tranformasi nilai-nilai pengetahuan juga diharapkan dapat memperkaya keterampilan mereka dengan beragam teori mengenai kewirausahaan sekaligus menyediakan sarana berwirausaha. Sehingga, mahasiswa benar-benar mendapatkan asupan teori dan pengalaman sebagai bentuk latihan dini sebelum akhirnya mereka benar-benar terjun di medan yang sesungguhnya.
Dan sangat disadari bahwa hal itu tidak akan rampung dalam sekejap. Butuh rentang waktu yang amat panjang untuk bisa mewujudkan cita-cita besar bangsa ini. Tetapi, optimisme dan harapan besar tetap harus kita selempangkan, utamanya di pundak para generasi muda. Perlu kita ingat bahwa tidak menutup kemungkinan beberapa tahun ke depan generasi muda kita mampu merobohkan tebing tinggi yang selama ini memisahkan masyarakat Indonesia dengan kesejahteraan hakikinya. Semoga! 

"Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari http://www.bankmandiri.co.id dalam rangka memperingati HUT Bank Mandiri ke-14. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan.“


Tidak ada komentar:

Posting Komentar