Jumat, 23 Desember 2011

KERAPAN SAPI; PRESTISE KEBANGGAAN MADURA YANG KIAN TERNODAI


             Ditilik dari historisnya,.kerapan sapi awalnya lahir dari gagasan seorang ulama yang bernama Sayyid Ahmad Baidawi yang kemudian oleh masayarakat Madura dikenal dengan Pangeran Katandur. Pangeran Katandur adalah cucu Sunan Kudus yang diutus ke daerah Madura, tepatnya di Kepulauan Sepudi, untuk menegakkan syiar Islam.
            Mulanya, Pangeran Katandur melihat beberapa petak tanah di daerah Sepudi dalam keadaan tandus tak terurus. Kemudian beliau berinisiatif untuk memanfaatkan tenaga sapi guna membajak dan mengelola tanah tersebut. Bermodal ketekunaan dan kesabaran, selang bebarapa bulan tanah yang awalnya tandus tersebut berubah menjadi sangat subur dan potensial untuk dapat ditanami dan dipanen hasilnya. Melihat usaha Pangeran Katandur meraup hasil maksimal dan membanggakan, masyarakat Sepudi pun kemudian mengikuti jejaknya. Akhirnya tanah di daerah Sepudi menjadi sangat subur dan bisa ditanami padi. Hasil panen berlimpah ruah dan jadilah daerah Sepudi yang subur nan makmur.
            Guna menumpahkan kegembiraan masyarakat atas nikmat yang berlimpah ruah, Pangeran Katandur mempunyai inisiatif mengajak warga desanya untuk mengadakan balapan sapi sebagai bentuk rasa syukur pada Allah SWT. Areal tanah sawah yang telah dipanen dimanfaatkan untuk areal Balapan Sapi. Nah, Dari sinilah awal mula tradisi “Balapan Sapi” atau yang sekarang dikenal dengan istilah Kerapan Sapi.
***
            Bagi masyarakat Madura, Kerapan Sapi  tidak hanya sebagai tradisi budaya atau pesta rakyat yang dilaksanakan setiap tahun. Lebih dari itu, Kerapan Sapi merupakan “prestise” kebanggaan Madura yang harus dikembangkan dan dilestarikan keberadaannya. Namun ironisnya, belakangan ini masayarakat bukan malah mengembangkan dan melestarikan aset kekayaan budaya Madura tersebut melainkan kian menodainya dengan praktek kekerasan yang dilakukan pada sapi saat Kerapan Sapi digelar. Seperti, menancapkan paku pada pantat sapi dan memoles cabai dan balsem ke mata sapi agar larinya kencang. 
            Melihat fenomena yang tak “ber-prikehewanan” ini,  berbagai macam kritikan dan kecaman dilontarkan masyarakaat peduli budaya, baik dari masyarakat Madura sendiri atau luar Madura, yang menuntut Pemkab mengambil sikap dan tindakan guna mengembalikan citra positif  Kerapan Sapi sebagaimana yang dikenalkan Pangeran Katandur.
            Menindak lanjuti kritik dan protes masyarakat, Pemkab Kabupaten Pamekasan (Drs. KH. Kholilurrahman) melalui Bakorwil IV Pamekasan bekerjasama dengan sejarawan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di seluruh kabupaten yang ada di Madura berupaya melakukan gerakan “menyuarakan” anti penyiksaan pada sapi kerap. Namun tampaknya seruan itu tidak dirubris positif oleh sebagian pemilik sapi kerap, karena kenyataannya  pada pergelaran Kerapan Sapi Piala Bergilir Presiden 2011 di lapangan Stadion Soenarto Hadiwidjojo Pamekasan, Ahad 23 oktober kemarin, praktik kekerasan masih saja terjadi. Padahal menurut KH Ali Rahbini Abdul Latief selaku ketua MUI Pamekasan, panitia pelaksana telah melarang  praktik kekerasan ketika itu.
            Dari fenomena tersebut, dapat kita ketahui bahwa untuk menghapus praktik kekerasan dalam Kerapan Sapi perlu kiranya Pemkab se-Madura lebih tegas lagi dalam memberi kebijakan. Kalau perlu, adakan konsekwensi nyata dan tegas bagi siapa saja yang melanggar kebijakan tersebut,. Misalnya, bagi yang melanggar akan didiskualifikasi atau didenda dan tidak boleh ikut serta lagi di tahun selanjutnya. Sehingga dari ketegasan itu diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kekerasan pada sapi kerap serta lambat-laun dapat mengembalikan citra positif budaya Kerapan Sapi di kalangan masyarakat luas.
***
            Tidak bisa kita pungkiri bahwa kepopuleran budaya Kerapan Sapi  telah menjamah kalangan masyarakat luas di berbagai daerah. Tidak hanya di  Indonesia, Negara-negara tetanggapun telah mengakui akan eksistensi Kerapan Sapi sebagai ikon budaya Madura, yang akan memperkenalkan budaya Madura dikancah budaya Nasional bahkan Internasional.
Namun akan sangat disayangkan, bila salah satu prestise kebanggaan Madura ini “dinodai” oleh mereka yang hanya ingin meraup keuntungan semata tanpa memperhatikan cara-cara yang positif dalam menggapainya.  Apalagi jika sampai muncul stereotype dari masyarakat luar Madura bahwa praktek kekerasan dalam pergelaran Kerapan Sapi adalah bagian dari karakter masyarakat Madura yang kejam, keras dan tak tahu belas kasihan. Naudzubillah..
Written by: Alfarobi
25 November  2011
              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar