Jumat, 07 Januari 2011

ISLAMISASI POLITIK BUKAN POLITISASI ISLAM (Prespektif Islam Terhadap Ulama Konsumtif Politik)

Dalam sejarahnya, politik sudah berkembang semenjak awal pemerintahan islam. Hal ini ditengarai dengan munculnya berbagai macam teologi-teologi kontraversional seperti; syiah, khawarij, muktazilah dan sebagainya yang disinyalir merupakan respon dan konsekwensi politik.
Jauh sebelum sebelum teori-teori politik bermunculan, Islam telah menyumbang apresiasi besar terhadap catur jangka dunia kepolitikan. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW juga pernah terjun ke dalam arena perpolitikan sebagai pemimpin agama dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam alur pemerintahan kota Madinah sekitar tahun 622 H.
Al-Qur’an selaku kitab suci dan disakralkan oleh umat islam, juga ambil alih dalam memberikan asumsi terhadap masalah perpolitikan. Lewat firman-Nya, Allah memerintahakan agar salah satu dari kita untuk menjadi seorang penguasa demi tegaknya amal ma’ruf nahi mungkar.  “ Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar mereka itulah orang yang beruntung.”(QS. Al-Imron: 104)
*      Ulama Dalam Perpolitikan Indonesia
Sosok ulama sudah bukan hal yang asing lagi dalam fenomena perpolitikan Indonesia. Semenjak pra-kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 agustus 1945 silam, ulama sudah mewarnai corak perpolitikan Indonesia dan sampai sekarang tetap eksis dan konsisten bertandan diatas panggung perpolitikan nasional.
Lebih-lebih pasca keluarnya hasil pemilu 2004 dan menjelang pemilu 2009, sempat beredar wacana bahwa masyarakat pada umumnya sudah tidak apresiatif dan responsif terhadap partai politik. Pasalnya masyarakat masih banyak tidak percaya bahwa partai politik sungguh-sungguh akan bisa mengatasi segenap kesulitan negara ini. Mereka menilai jika memilih suatu partai politik nasib mereka tetap saja tidak akan berubah. Dalam situasi getir seperti ini, tidaklah mengherankan jika ulama dianggap sebagai tokoh sentral dan sosok yang dibutuhkan dalam menumbuhkan kembali stabilitas kepercayaan masyarakat terhadap realisasi dan kontribusi partai politik.
 Dalam kacamata masyarakat, ulama’ merupakan sosok figur yang sangat dihormati dan dipandang. Tidak hanya itu, kharisma yang dibiaskan pun juga melebihi Lurah, Camat atau Bupati sekalipun. Hal ini dikarenakan tidak sedikit para calon Lurah, Camat dan Bupati sering melakukan sowan politik kepada para ulama dengan berdalih meminta restu dan do’a. Selain itu,  ulama adalah sosok berpengaruh dan mempunyai daya gertak besar dalam hal menstimulasi dan mempengaruhi publik. Sehingga peran serta ulama dalam hiruk-pikuk perpolitikan nasional dan apresiasi publik terhadap ulama terkait politik sudah dianggap menjadi kewajaran belaka.
Hal serupa juga terjadi pada pemilihan calon Bupati di 4 Kabupaten di pulau Madura. Wacana ulama dalam politik kembali digempar-gempirkan, pasalnya partisipasi ulama dalam pencalonan Bupati sangat dominan. Hampir semua calon bupati di 4 kabupaten tersebut, notabenenya adalah  ulama. Semua itu bisa dilihat dari publikasi calon dalam baleho yang bertandan di pinggir-pinggir jalan yang memiliki background ulama. Meski demikian, status ulama dalam dunia politik masih menjadi polemik dan pertanyaan. Akankah status ulama yang disandangnya benar-benar ulama yang otentitasnya bisa di pertanggungjawabkan, atau malah ulama yang hanya bersembunyi dibalik lilitan sorban diatas kepalanya?.
*      Politik Bermoral Nan Agamis
Kekuasaan pada esensinya adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan. Amanah diperoleh dari tuhan melalui tangan-tangan manusia. Oleh karena itu, dalam melakukan amanah manusia diharapkan senantiasa berbuat yang terbaik dan bertanggung jawab.
Mohammad Amin MS dalam bukunya; Mengislamkan Kursi dan Meja Dialektika Ulama dan Kekuasaan,  menguraikan dengan paparan nyata tentang perpolitikan Indonesia yang seringkali melibatkan dan menggunakan peran ulama atau ulama itu sendiri yang terjun langsung dan menjadi tokoh utama dalam suatu partai politik. Amin dalam asumsinya menganalogikan kursi sebagai singgasana politik atau kekuasaan, sementara meja diartikan papan sebagai tempat berkas-berkas birokrasi kenegaraan. Kursi dan meja jika dikorelasaikan dalam satu istilah, kursi dan meja berarti kekuasaan dalam birokrasi politik.
Keikutsetaan ulama yang dinilai berpengaruh dan berkharisma lebih terhadap publik dalam kancah perpolitikan nasional, diharapkan bisa mengislamisasikan dan merubah corak atau sistem perpolitikan nasional yang belakangan ini kerap kali terjadi paraktik politik uang (money politic) dan kecurangan yang berimplikasi pada eksistensi perpolitikan nasional, menjadi sistem politik yang bermoral nan agamis.
Dewasa ini, yang menjadi keresahan publik adalah ulama yang lalai akan statusnya. Ulama yang mempunyai karakter agamis, malah melupakan nilai-nilai moralitas keagamaan. Lebih ironisnya lagi, ulama yang mempolitisasi islam atau menjadikan islam sebagai media untuk mencapai kekuasaan dengan cara mengobral dan menjual dalil-dalil kitab suci hanya demi kepentingan partai politiknya. Padahal ayat-ayat suci tersebut merupakan hal yang sakral dalam islam dan perlu dipelihara sakralitasnya, bukan sesuatu yang bersifaf profanitas belaka.
Kita tetap berharap mudah-mudah sikap apresiatif ulama terhadap politik, seiring dengan substansi positifnya untuk mewarnai perpolitikan Indonesia demi perubahan pola dan sistem perpolitikan Indonesia yang bermoral nan agamis di masa yang akan datang. semoga !

Al-faroby
Kelas,25 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar