Jumat, 07 Januari 2011

MEMBANGUN MADURA BUKAN MEMBANGUN DI MADURA (Pemikiran Kontributif Dari 2 Aliansi Yang Mutajanisain)

Madura dikenal dengan sebutan pulau garam. Sedikitnya ada seribu lebih petani garam yang berdomisili dan mengais nafkah dari tanah Madura. Keelokan alam Madura masih terlihat sangat asri nan alami. Pengembangan dan pembenahan oleh pemerintah daerah Madura kian digenjot guna memaksimalkan keelokan alam Madura dalam bentuk objek wisata yang bernilai, baik materi maupun inmateri, demi menyokong pembangunan Madura selanjutnya. Madura mempunyai letak geografis yang sangat strategis. Jauh dari bencana dan mara bahaya yang mengancam. Tidak seperti kota-kota besar pada umumnya, yang hampir setiap tahun mendapat giliran tertimpa bencana, layaknya proses arisan ibu-ibu rumah tangga.
Masyarakat Madura sagat menjunjung tinggi nilai-nilai silaturrahmi dan religi serta memelihara kearifan budaya lokal warisan nenek moyang sebagai kepercayaan, norma, dan panutan yang diekspresikan dalam bentuk tradisi dan mitos yang dianut oleh sekelompok komunitas dalam waktu yang lama.
Fanatisme yang dianut masyarakat Madura terhadap kebudayaan nenek moyang di dasari bahwa budaya mengandung makna luhur dan filosofi yang menstimulus masyarakat Madura menjadi pribadi luhur dan berprestasi. Disadari atau tidak, secara kasat mata budaya telah manjiwai pembangunan Madura sejak masa silam dan akan terus menyokong pembangunan madura di era globalisasi ini. Namun sangat disayangkan sekali, globalisasi mulai memudarkan kesadaran orang Madura utamanya jajaran pemerintah akan eksistensi serta kiprah budaya.
Terkadang dalam menetapkan kebijakan, terkait soal pembangunan
, pemerintah tidak lagi mengindahkan eksistensi budaya lokal Madura sebagai pertimbangan. Dalihnya adalah akselerasi perubahan dan perbaikan sektor ekonomi madura menuju persaingan global. Sehingga hujaman dan protes kian menerpa pemerintah dan pembangunan pun tidak lagi sesuai rencana.
Hal demikian, sangat tampak ketika pembangunan jembatan megah yang menghubungkan pulau Madura dan Surabaya tersebut resmi dibangun. Berbagai wacana pro-kontra beredar diseantero Madura. Ulama-ulama harus putar otak melalui forum persatuan ulama Madura untuk menyikapai kebijakan pemerintah, terkait pembangunan jembatan Suramadu.
 Desas-desis soal pergeseran nilai (value) pasca pembangunan Suramadu menjadi pembahasan hangat masyarakat. Sebab, masyarakat madura tidak menginginkan pemerintah hanya membangun di Madura tetapi masyarakat ingin pemerintah membangun Madura dengan seluruh aspek dan prospek yang dimiliki madura, dengan tidak menafikan kearifan budaya lokal sebagai pertimbangan. Sehingga apa yang telah menjadi milik Madura tidak lantas terkikis seiring dengan adanya pembangunan, melainkan tetap ada mewarnai kehidupan masyarakat Madura dan selalu dipelihara serta dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Karena budaya Madura tidak sekedar menjajikan romantisme masa lalu yang statis dengan unsur primitif, tapi tersirat makna luhur dan filosofi dibalik kekayaan budaya Madura yang senantiasa akan menyokong pembangunan Madura dimasa depan.
Satu hal yang perlu diketahui dari dampak pembangunan adalah, mobilisasi penduduk dari luar Madura ke Madura, termasuk investor asing yang ingin menanamkan modalnya. Yang jelas, akan terjadi interaksi sosial- budaya antar penduduk Madura dengan luar Madura yang akan berpengaruh terhadap pergeseran nilai-nilai budaya. Dalam kondisi seperti ini, peran kearifan budaya local sangat dibutuhkan sebagai sarana filterisasi budaya asing.
Jadi, pembangunan Madura haruslah berbasis kearifan budaya lokal Madura. Hal ini merupakan faktor utama pendukung pembangunan Madura dan layak menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan bagian management yang mengurusi pembangunan Madura. Sehingga pemerintah tidak hanya sekedar menjadikan Madura sebagai tempat membangun dan masyarakat Madura sebagai subjek (hamba) pembangunan, namun pemerintah dapat menjadikan Madura sebagai subjek dan objek dari pembangunan Madura. Sehingga masyarakat Madura tidak lagi menjadi manusia-manusai marginal ditanah kelahirannya sendiri. Dan masyarakat Madura berhak untuk protes serta membrontak, jika pembangunan berdampak pada degradasi nilai-nilai spiritual dan kultural masyarakat Madura. Dengan demikian, pembangunan berjalan dengan iklim demokratis dan melegakan hati masyarakt Madura.Wallahua’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar