Baru saja aku selesai menunaikan shalat dhuhur berjama’ah. Meski rasanya tubuhku meronta-ronta kecapeaan refleksi dari padatnya aktifitas setengah hari ini yang sangat meletihkan. Ditambah lagi, nyeri dipahaku kembali menyapa, rasanya ada tali yang mengikat serasa kakiku kaku untuk digerakkan. Namun tetap aku paksaan tubuhku untuk melaksanakan shalat qabliyah dan tetap tegak menghadap sank pemilik seantero.
“Ngapain sholat??”.Cetus santri disampingku kepada temannya.
“Toh meskipun sholat cuma karna dipaksa bagian ubudiah saja karena takut mahkamah, percuma!”. Lanjutnya.
Kalimat itu membangkitkan rasa penasaranku, sedikit timbul rasa jengkel sich, meski tak dapat aku salurkan dalam bentuk tegoran atau pukulan, namun aku sempatkan untuk hanya sekedar menoleh dan berkomentar, “Oh anak itu!”. Gumamku.
“Cetusnya santai, andai saja dia tahu makna sebuah paksaan, niscaya dia akan menjadi orang yang terbiasa dalam kebaikan”. komentarku dalam hati.
***
***
Kata orang, pekerjaan yang dilandasi dengan unsur keterpaksaan atau paksaan sangat jauh dari hasil optimal. Contoh kecilnya, sholat tahajud jika dikerjakan dengan terpaksa maka akan banyak kecacatan-kecacatan yang terjadi didalamnya. Seperti; malas, ngantuk, ataupun sulit mencapai khusu’. Jika sudah demikian, harapan untuk diterimapun sangat minim bahkan nihil.
Namun, hal tersebut tak dapat diselaraskan dengan unsur paksaan yang terselubung dibalik balutan disiplin pesantren. Hal ini dikarenakan orientasi edukatif yang melatarbelaknginya.
Namun, hal tersebut tak dapat diselaraskan dengan unsur paksaan yang terselubung dibalik balutan disiplin pesantren. Hal ini dikarenakan orientasi edukatif yang melatarbelaknginya.
Perlu kita ketahui bersama bahwasanya melalui disiplin yang memaksa, pesantren ingin menanamkan terhadap para santrinya sikap disiplin dalam segala hal. Sehingga setelah masa study santri selesai, disiplin yang memaksa tersebut diharapkan dapat terus tertambat dalam sanubari mereka yang senantiasa terefleksi dalam setiap aspek kehidupan di masa depan kelak. Tambatan tersebut tentunya dalam wujud yang berbeda, yakni wujud kebiasaan diri. Tapi suatu fenomena yang cukup memprihatinkan, dari sekian banyak santri hanya segelintir orang saja yang dapat memaknai urgensi paksaan dalam mentaati disiplin pesantren tersebut.
Pada umumnya, santri memahami bahwasanya suatu paksaan utamanya dalam hal ibadah itu merupakan sarat ketidak optimalan hasil dan riya’ yang mengarah pada syirik kecil. Alih-alih mereka berdalih, “Pengennya dapat pahala eh, malah dapat dosa!!”.
Memang benar demikian, tapi tidak semuanya demikian. Awalnya, pesantren memang memaksa santri untuk senantiasa mentaati disiplin; baik yang bersifat vertikal (mu’amalah ma”a Allah), Horizontal (mu’amalah ma’a annas) ataupun diagonal frontal (Mu’amalah ma’al bi’ah). Namun seiring dengan rotasi waktu yang terus berevolusi, paksaan itu akan mengalami metamorfosis menjadi kebiasaan jangka panjang jika tidak diiringi dengan pemberontakan-pemberontakan. Nah, dari kebiasan itulah santri dibentuk menjadi pribadi disiplioner yang tidak peduli ruang dan waktu serta tidak terikat dengan posisi dan fungsi. Artinya, kapanpun dan dimanapun dalam kondisi apapun dia berpijak, sikap disiplin akan selalu mewarnai perangainya. Inilah buah manis yang dapat dirasakan dari benih pemaksaan
Namun sebaliknya, jika benih paksaan tidak kunjung berbuah kebiasaan disebabkan adanya pemberontakan-pemberontakan, maka santri tersebut akan menjadi pribadi yang adiktif (ketergantungan). Sikap disiplin yang selama ini ia pupuk lambat laut akan lengser seiring perubahan ruang dan waktu serta posisi dan fungsi. Belum lagi perbuatan yang selama ini ia lakukan, utamanya yang berbentuk ibadah, akan terasa hambar tanpa rasa dan pahala karena ada unsur riya’ yang menjurus pada syirik kecil.
Nampaknya benar selentingan yang belakangan ini kerap mewarnai gendang telinga kita, “lebih baik masuk surga dipaksa dari pada masuk neraka sukarela”. Modal awal untuk masuk wahana syurga tuhan memang bukan paksaan, melainkan keikhlasan. Satu hal yang seringkali terabaikan oleh para santri tentang peranan penting dari eksistensi suatu paksaan. Paksaan melahirkan kebiasaan yang lambat laun akan menjadikan amal berjalan searah keikhlasan menuju syurga kenikmatan.
Lain halnya dengan orang yang alergi terhadap paksaan dengan dalih keikhlasan dan takut riya’. Dengan keputusan yang tanpa berfikir panjang, ia akan memberontak keluar dari lingkup paksaan-edukatif dalam dunia disiplin, sedang ia mengetahui bahwa esensi pemberontakan itu penuh dengan konsekwensi dan lumrahnya adalah kehancuran. Dengan kata lain, dia telah menjerumuskan dirinya terhadap neraka yang penuh dengan durja secara ikhlas.
Semuanya telah rampung terpapar rapi, terserah anda mau memilih yang mana. Penulis yakin, anda adalah pembaca yang memiliki intelektualitas cukup tinggi. Maka dari itu, tentunya anda dapat selektif dan profesional dalam menuntukan sikap. Penulis pun yakin, meski hanya dalam bentuk testimoni, nurani anda masih tetap dapat menerima kebenaran walau nyatanya pahit dan sulit. Maka pilihlah dengan mengikuti kata hati anda, demi perbaikan anda sekarang dan untuk kehidupan Anda di masa depan. Jalan Anda ada dalam langkah Anda,Wallahua’lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar