CINTA SALAH SAMBUNG,
REFLEKSI BIRAHI SALAH AKSI
Ufuk timur masih sarat dalam sinar mentari, saya sedang tenggelam dalam rerimbun kalam-kalam suci Ilahi. Badi’ cuuy….! kata itu memecahkan lamunan saya, keluar menuju pembahasan panjang. Kata itu keluar dari salah satu rekan saya, saat melihat salah satu santri yang kabarnya punya perawakan ideal.
Sejenak saya berpikir, apakah selentingan itu pantas direlevansikan dengan santri yang bersangkutan, yang realitanya dia diciptakan tuhan dengan vitalitas nyata dan kompleks (laki-laki tulen) bukan seperti halnya mu’tazilah dalam kredo familiernya “Al-manzilah Bainal Manzilatain”(tempat diantara dua tempat). Mungkin pembaca bertanya-tanya, apa korelasi dari konsep ajaran mu’tazilah dengan istilah badi’ yang selama ini sering menjamah telinga kalangan santri.
Berdasarkan goresan problematis berkepanjangan diatas, penulis mencoba mencari titik terang yang diharapkan bisa menjadi sarana pembantu santri dalam menarik benang merah terkait apresiasi dan terhadap fenomena destruktif diatas.
Dengan menggunakan analisa-analisa yang bersifat informatif, realistis dan implikatif, penulis mencoba menjabarkan masalah ini dengan sedetail-detailnya, yang terampung dalam konsep 4W+1 H..
-Apa Problematisnya (What) .
Kehidupan manusia memang sarat akan cinta, cinta memang sudah menjadi fitrah yang melekat dalam naluri seorang insan sejak lahir hingga ajal ”Zuyyina linnasi hubbussahawaati minannisa’I wal baniin” (QS. Ali imron: 14.
Namun sangat naïf rasanya, jika cinta yang Allah anugerahkan tersebut, disebabkan faktor nafsu yang takdapat dibendung, birahi syetan yang menjelma dan lingkungan yang kurang bersahabat, lantas cinta itu menjadi buta dan salah sasaran dalam mengaplikasikannya atau dalam bahasa dan istilah kita dikenal dengan” Homoseksual”.
Dalam kamus Enskilopedia Bahasa Indonesia, Homoseksual berasal dari kata homo yang berarti keterikatan antar jenis yang sama, dan kata seksual yang berarti hubungan badan (senggama) atas dasar birahi, jadi homoseksual adalah hubungan badan antara dua orang sesama jenis atas dasar nafsu birahi, atau lebih jelasnya Maaf, laki-laki dengan laki-laki atau sebaliknya (lesbian).
Homoseksual dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah Al-liwat. Disebut Al-liwath karena istilah tersebut dinisbatkan kepada kaum Luth, yang kabarnya mereka diazab dengan suara mengguntur dan hujan batu yang meluluh-lantakkan negeri mereka. Sebagai bentuk konsekwensi dari pengingkarannya (kaum luth) terhadap ajakan nabi Luth dan perbuatannya yang menyimpang, yaitu mentradisikan Homoseksual dalam kehidupan mereka.
Dalam hukum fiqih Al-liwath (Homoseksual) merupakan salah satu dari Al-kabair (dosa besar) dengan indikasi, perbuatan itu telah mengingkari kodrat tuhan, merusak pola berpikir dan menyalahi eksistensi kesucian jiwa. Sehingga akibat dan hukum yang di biaskannya pun juga sangat besar.
Bahkan Imam Maliki dan Hambali mengatakan hukuman bagi pelaku (failul liwaht) adalah di bunuh, dengan landasan hadist Nabi “Barang siapa di antara kamu menemukan orang yang telah melakukan apa yang dilakukan kaum luth , maka bunuhlah Al-fa’il (subjek) dan Al-maf’ul (objek).(HR. alkhomsah).
Mungkin setelah membaca Hadist di atas, sejenak kita dihadapkan pada pertanyaan, lantas bagaimana hukumnya orang yang menjadi korban (dalam keadaan tidur) dari implementasi, nafsu salah aksi? Dalam hal ini Hadist Nabi “Terangkatnya pena (dosa) dari 3 orang, seorang bayi sampai baligh, orang yang tertidur sampai terjaga, dan orang gila sampai sadar. Patut dijadikan indikator terangkatnya dosa sang korban.
Sedang Imam Syafi’i berpendapat bahwa hukuman bagi fa’ilul liwath sejajar dengan perbuatan zina, dengan landasan sabda Nabi “Apabila seorang laki-laki mendatangi laki-laki, maka mereka berdua telah berbuat zina”.
Jika melihat pada konteks zina, maka hukuman bagi fa’ilul liwath setara dengan seratus cambukan jika dia Bikr(bujang) dan dirajam sampai mati jika dia Tsiyabah (punya istri).
-Siapa Implementatornya (Who)
Jika ditanya siapa subjek dan objek dari realisasi homoseksual mungkin ruang lingkup dan cakupan bahasannya tentu akan sangat luas dan butuh referensi yang tidak sedikit. Apalagi kabarnya dewasa ini banyak Negara-negara yang sudah melegalkan pernikahan antar sesama jenis tersebut seperti Belanda, Argentina dan lain-lain.
Namun yang menjadi orientasi pembahasan dalam hemat penulis adalah sosok santri dan partisipasinya dalam meramaikan perhelatan homoseksual dalam wahana pesantren atau lebih mudahnya sosok santri ketika menjadi pelaku homoseksual (maaf lancang).
Membahas sosok seorang santri, melayangkan pikiran kita pada seseorang yang sarat akan peci, baju koko, dan sarung dengan perawakan rapi dan perangainya yang karimah, tentu saja paparan analogis diatas tidak lepas bahwa pada kenyataannya santri memang mempunyai eksistensi ideal dalam kontek spiritual. Namun apa jadinya jika sosok yang disorot baik ternyata ikut tenggelam dan menikmati tipu daya cinta buta salah sasaran?.
Dalam sebuah buku, hasil buah pikir KH.MOH IDRIS DJAUHARI dikatakan bahwa santri adalah seseorang yang bermukim atau nyantri disebuah pesantren dengan substansi mencari ilmu agama dan lainnya dalam ranah masyarakat santri sering kali mendapat sorotan apresiasi lebih dibanding orang yang bukan santri (non-santri) karena pada umumnya masyarakat menilai santri adalah figur yang punya ilmu agama lebih (Alim), ahli ibadah(Abid) dan punya perangai yang arif dan karimah.
Meski penilaian itu ada benarnya tapi dalam hemat penulis penilaian . tersebut sangat berlebihan, namun tidak dapat dielakkan bahwa hal itu sudah menjadi harga mati bagi seseorang yang punya titel santri, hingga tak ayal santri banyak menjadi tokoh masyarakat dalam sebuah komunitas, dan mungkin itu adalah bukti nyata bahwa kapasitas santri memang sangat diharapkan oleh khalayak
Jika sudah demikian, lantas bagaimana dengan wacana “ketika santri menjadi pelaku homoseksual? bukankah itu sangat kotradiktif dengan realitas santri itu sendiri? Dalam perspektif penulis, jika wacana dan rumor itu benar adanya, maka status santri yang disandangnya patut dipertanyakan apakah dia adalah santri yang memukimkan (menyantrikan) perangai dan hatinya dalam titah tuhannya ataukah ia hanya seorang munafik yang bersembunyi dibalik topeng santri.
-Dimana TKP nya (Where).
Jika konsep sub tema (who) adalah sosok seorang santri, sudah barang tentu konsep (where) adalah pesantren. Karena umumnya santri bermukim dan berdomisili di lingkungan pesantren.
Pesantren, dewasa ini kerap mejeng nama di pelbagai media publik, menjadi topik pembahasan khalayak yang berkepanjangan, serta menjadi sentral pendidikan dalam ranah masyarakat Indonesia, pasalnya sistem yang dikelola pesantren merupakan sistem yang sangat ideal yang harus dipertahankan dan dikembangkan secara terus-menerus dari generasi ke generasi (berkesinambungan). Sehingga untuk menghasilkan perkembangan dan peningkaatan tersebut timbullah wacaana-wacana dan literatur-literatur konstruktif terkait metode peningkatan sistem pesantren dalam berbagai aliansi perspektif.
Dalam goresan pena sejarah, pesantren dahulu kala sangat sarat akan kitab-kitab klasikal atau kitab gundul (tak berharakat) dan masih fakum dari ilmu pengetahuan sains dan teknologi. Namun seiring dinamika waktu, pesantren rupanya tak mau kalah dalam hal kemajuan pengetahuan sains dan teknologi. Sehingga wajar jika dewasa ini banyak kita temukan pesantren-pesantren yang sudah meng integralisasi kan sistem ilmu salafi (klasik) dengan sistem ilmu pengetahuan sains dan teknologi modern.
Meski demikian, pesantren tidak lantas mengesampingkan kitab-kitab klasik yang selama ini telah menjadi ciri khas pembelajaran (kurikulum) mereka. Tetapi pesantren mencoba melakukan berbagai kajian guna mengkorelasikan literature-literatur kitab klasik hasil olah pikir ulama-ulama salafusshaleh dengaan perkembangan pengetahuan sains dan teknologi modern. Sehingga timbullah konsep-konsep pengajaran dan pendidikan pesantren yang mengorientasikan pada fikir dan dzikir (QS. Al-Imron : 190-191 ).
Sesuai dengan panji-panjinya, pesantren mendidik santri-santrinya untuk menjadi mutafaqqih fid-din, dengan menjadikan stabilitas spiritual sebagai sasaran pendidkan. Hingga tak ayal jika dalam aktifitas kesehariannya, selain belajar dikelas santri juga dituntut untuk memperbanyak hubungan vertikal (muamalah ma’a Allah) seperti, sholat tahajjud, tadarus Al-Qur’an dan sebagainya, memperbaiki hubungan horizontal (muamalah ma’an nas), seperti at-ta’awun, at-tawasi bil khoiir.
Namun ditengah keidealan yang hampir mencapai puncakanya (klimaks), terbesit sebuah fenomena dalam wujud rumor pahit nan fiktif terkait praktik homoseksual. Dimana rumor tersebut memunculkan streotipe buruk akan eksistensi pesantren dalam sorotan publik, pasalnya wacana tersebut mengklaim bahwa homoseksual merupakan tradisi pesantren. Sungguh penulis tidak habis pikir dari mana landasan statement ini berakar, melihat semua yang diajarkan dan dikontribusikan oleh pesantren sangatlah positif dan membangun pribadi santri kearah yang lebih baik. Apakah karena homoseksual kerap terjadi dipesantren? Atau apa karena pesantren membatasi santriwan dan santriwatinya dalam berinterkasi?, jika benar demikian. Penulis mengira bukan sebuah alasan yang kuat untuk dijadikan landasan bahwa perbuatan itu adalah sebuah tradisi dan juga peng claim an itu nampaknya terlalu ekstrim karena secara tidak langsung telah terjadi proses peng degradasi an citra positif pesantren.
Secara tekstual, kata tradisi sangat berbeda dengan kata adat. Namun dalam kontek makna kontekstual, tradisi dan adat mempunyai interpretasi yang sama, yaitu segala sesuatu yang dianggap merupakan sebuah kebiasaan turun-temurun. (ensiklopedia bahasa Indonesia).
Kaitannya dengan tradisi, penulis melihat adanya kejanggalan, jika homoseksual identik dengan tradisi pesantren, karena :
Pertama, Jika homoseksual adalah tradisi, tentunya pesantren melegalkan (membolehkan) praktek homoseksual sebagaimana pemerintahan Belanda dan Brazil yang membolehkan praktik homoseksual terhadap rakyatnya. Namun realitanya pesantren sangat menindak keras dan bahkan mengusir santri yang berbuat demikian sebagai bentuk larangan pesantren terhadap perbuatan amoral tersebut.
Kedua, Dalam sejarah perkembangannya, pesantren tidak pernah mengajari dan mendidik santri-santrinya untuk mentradisikan (membiasakan) perbuatan amoral tersebut sebagaimana pesantren mendidik santrinya untuk mentradisikan pengkajian kitab klasik dan ibadah amaliyah lainnya. Bahkan, selama ini pesantren selalu memberikan gambaran dari pelbagai literatur-literatur Islam tentang negatif perbuatan tersebut dengan harapan santrinya tidak terjerumus kedalam purbuatan abnormal tersebut.
-Apa Yang Melatarbelaknginya (Why)
Al-liwath yang terjadi di lingkungan pesantren dan dilakukan oleh kaum santri, setidaknya ada beberapa sebab yang melatar belakangi terjadinya hal itu.
Pertama, Santri tidak dapat membendung intensitas nafsu yang menggelora dalam hatinya, dimana nafsu tersebut merupakan bawaan dan kebiasaan pra-mondok semasa santri tinggal di kediamannya. Sehingga santri akan berbuat nekat dan menyalurkan nafsunya kepada objek yang salah saat interaksinya dengan lawan jenis dibendung dan dibatasi.
Kedua, Adanya rasa ingin tahu dan penasaran (bagi santri baru), sehingga membuat santri terpancing untuk melakukan perbuatan amoral tersebut.
Ketiga, Minimnya pengetahuan santri tentang mudharat dan negatif homoseksual, baik mudharat yang bersifat nafsiyah, hulukiyah dan ijtimaiyah.
-Bagaiman Solusi Efektifnya (How).
Pepatah arab mengatakan “likulli daain dawaaun” (setiap penyakit pasti ada obatnya). Merujuk pada qaul diatas, penulis mencoba menganalogikan ad-daau (penyakit) dengan dengan problematis (masalah), sedang ad-dawaau dengan solusi (jalan keluar), sehingga menjadi satu kesatuan dalam qaul jadid “likulli musykilaatin wa masyakilin makhrajun” (setiap problematika pasti ada solusinya).
Tuhan menciptakan masalah tentunya juga telah siap dengan segudang solusi yang di sediakan, tinggal bagaimana kita mencari dan menyikapi solusi yang ada. MH. Ainun Najib mengatakan “problem kehidupan akan membentuk kita menjadi manusia yang lebih baik”, pasalnya dengan adanya problematika tersebut kita akan berusaha untuk mencari solusi efektif guna menafikan problematika tersebut, meski esensialnya, lanjut Ainun, kita tak dapat menafikan masalah, namun setidaknya kita bisa meminimalisirnya.
Homoseksual merupakan salah satu dari sekian problem yang menyapa pesantren, namun masalah ini bisa dibilang masalah besar, karna secara tidak langsung masalah ini telah mengkerdilkan image pesantren selaku lambaga pendidikan yang sarat akan nilai-nilai agamis dan norma-norma ketimuran. Untuk meminimalisir masalah tersebut, perlu adanya peran kerja sama dan sama kerja antara semua pihak pesantren (santri, asatidz masyayih) dengan orang tua.
Dalam hemat penulis ada sedikit gagasan yang mungkin dapat dijadikan solusi dalam upaya meminimalisir tindakan amoral diatas.
Pertama, Seluruh santri hendaknya senantisa mentradisikan al-amru bil ma’rufi wan nahyi ‘anil mungkari dan at-yawashi bil haantar sesama santri, dalam kehidupan sehari-hari. Danuntuk santri yang dinilai memiliki perawakan lebih atau maaf (badi’) maka sepatutnya dia bisa mawas diri dalam bersikap dan sebisa mungkin mengkontrol dirinya dari perbuatan-perbuatan yang sekiranya dapat merangsangbiologis manusia bertopeng santri (fa’ilul liwath).
Kedua, Para asatidz dan para masyayih pesantren, harus senantiasa memberikan pengertian terhadap santri-santrinya akan mudhorat homoseksual, baik secara medis maupun agamis. Dan menindak keras bagi santri yang tenggelam dan menikmati perbuatan ab-normal tersebut, agar timbul efek jera terhadap santri yang bersangkutan.
Ketiga, Orang tua harus selalu memperhatikan anaknya agar tidak terjerumus pada pergaulan bebas, saat anaknya berlibur. Sehingga selepas liburan, intensitas nafsu anaknya tetap terkendali meski interaksinya dengan lawan jenis terpasung.
Keempat, Senantiasa berusaha untuk selalu mengcovery diri kita dengan cahaya keimanan dan ketaqwaan, agar Allah senantiasa melindungi kita dari berbagai bisikan syeitan yang terkutuk. Wallahua’lam !
Al-Faroby
Koridor, 20 November 2010
Jam 24.30 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar