Jumat, 07 Januari 2011

UN ANTARA DEPRESI DAN REKONTRUKSI EKSISTENSI

      Sejak digulirkan, UN kian menuai kontroversi dan kritik dari khalayak yang seakan memburamkan kontribusinya. Tak salah jika penulis mengambil statement tegas diatas sebagai kalimat pembuka dan inti dari hasil olah pikir yang tergores diatas lembaran sarat akan aspek kognitif-informatif ini.
      Tak lama lagi perhelatan akbar tahunan dunia pendidikan kembali akan digelar. Berbagai macam perbaikan dan perubahan sistem terus dilakukan pemerintah, berharap hasil UN mencapai tingkat maksimal. Namun, jauh panggang dari api, bukan malah perbaikan dan perubahan kearah yang lebih membangun yang didapat, tapi cucuran kritik dan kontroversi dari masyarakat yang mempertanyakan efektifitas UN, serta depresi peserta pasca berakhirnya UN, semakin meningkat. 
      Bisa dibilang wajar, jika masyarakat menilai UN kian menuai depresi dan trauma bagi peserta didik. Betapa tidak, gencatan gugatan UN yang dilakukan orang tua peserta didik yang tak lulus, melalui LBH, kian menambah tumpukan map Mahkamah Agung, bukan karena mereka (orang tua) tak menerima kegagalan anaknya, tapi gugatan itu lebih mengarah pada ketimpangan-ketimpangan sosial-politik dalam pelaksanaan UN dan efek depresi dan trauma yang selalu menghantui peserta didik yang tak suskses. Bukti konkritnya, apa yang telah terjadi pada Indah Kusumaningrum (21). Dara alumni SMA PSKD 7 depok ini sempat mengalami depresi dan trauma pasca mendengar bahwa dirinya “ditakdirkan” tidak sukses dalam pergelaran UN 2009 silam.“saya jatuh dipelajaran Matematika, saya dapat empat. Padahal pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris saya dapat nilai delapan” tutur Indah kecewa. Tidak lekas kelar kekecewaan yang dialami indah, bahkan kekecewaan itu semakin berkecamuk saat indah tahu bahwa tidak sedikit dari temen-temannya yang mendapatkan nilai lima dari tiga pelajaran terpilih namun tetap mendapatkan predikat lulus.Ironisnya, selama tiga tahun pendidikan indah dijenjang SMA prestasi indah jauh lebih tinggi dari temen-temannya yang lulus, baik dari aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun na’as, harapan untuk bisa mendatkan ijazah SMA harus kandas dibawah pelajaran Matematika yang hanya selisih nol koma.“Nampaknya nilai delapan dan prestasi saya selama ini terkesan imajiner (tak berguna) di mata pemerintah” seru indah.
      Menurut ketua Komnas Perlindungan Anak (KPA), Seto Mulyadi, sedikitnya ada 100 anak mengalami depresi dan trauma akibat tidak lulus UN, dan empat anak mencoba bunuh diri, salah satunya tak tertolong, juga 305 pengaduan seputar UN menumpuk di KPA.
      Dari sekian problematis refleksi UN, Nampak wajar jika perhelatan UN dalam ranah pendidikan nasional kian menuai kontroversi dan kritik dari masyarakat, menuntut perubahan konsep dan sistem UN yang lebih merekontruksi intelektual dan spiritual anak didik serta jauh dari ketimpangan-ketimpangan sosial-politik, ulah tangan-tangan pendidik yang tak bertangguyng jawab.
     B. Pakuwinata dalam majalah Qalam edis 09, menyatakan bahwa banyaknya kontroversi dan kritik serta ketimpangan-ketimpangan dalam tubuh UN tak lain disebabkan oleh beberapa faktor.Pertama, beban mental siswa terlalu berat, karena dituntut merangkum ilmu-ilmu yang dipelajarinya selama tiga tahun dalam satu momen ujian. Kedua, karakter UN yang unhumanis (kurang memenusiakan manusia), karena indikator kelulusan siswa hanya ditentukan oleh hasil akhir dari tiga pelajaran terpilih, tanpa memperhatikan aspek kognitif, afektif dan psiokomotorik siswa sebagai barometer kelulusan. Sehingga UN Nampak bersifat egois dan non-pertisipatif, karena sekolah tidak bisa andil dalam penentuan kelulusan siswa-siwinya. Ketiga, ketentuan bahwa UN adalah syarat kelulusan, secara tidak langsung telah memaksa lembaga sekolah untuk melakukan segala cara agar anak didiknya dapat lulus 100% dengan dalih “demi nama baik sekolah”.
                                                                            ***
      Meski gugatan UN kian menambah arsip-arsip Mahkamah Agung, namun pemerintah nampak kalot dalam mengambil sikap. “Sudah tahu bahwa depresi dan trauma akibat UN kian menjadi-jadi, malah standar nilai kelulusan kian ditingkatkan. Sudah tahu UN kian menuai kontroversi dan kritik dari masyarakat, eh tetap saja UN dijadikann syarat kelulusan yang menyiksa dan menakutkan” tutur Al-faroby.
      Alih-alih pemerintah berdalih “UN adalah media rekontruksi eksistensi pendidikan Indonesia dalam ranah dunia internasional. Sehingga UN harus tetap dilaksanakan dan standar kelulusan harus tetap ditingkatkan untuk memompa motivasi siswa dan pendidikan Indonesia tetap dapat bersaing didunia internasional”. Namun, tujuan yang positif nampak kelabu ketika melihat realita yang terjadi. Bukan malah rekontruksi eksistensi yang terjadi, tapi kalkulasi korban UN yang semakain menjadi-jadi, moralitas spiritual peserta didik semakin dan kian terkikis, akibat kebohongan yang mereka lakukan saat UN berlangsung (mencontek) dan tercorengnya nama baik seorang guru sebagai tauladan bagi siwa-siswinya, akibat legalisasi aksi mencontek bagi siswa-siswinya atau bahkan memberikan bocoran jawaban UN kepada siswa-siswinya. Jika sudah demikian, lantas apakah upaya rekontruksi eksistensi pendidikan nasional semakin meningkat ? meski itu terjadi, tak lain hanyalah sugesti yang terimajinalkan (hasil yang sia-sia) yang jauh dari otentitas kemampuan dan pola pikir siswa-siswi Indonesia pada umumnya. Sehingga jika hasil akhir dari pergelaran yang membutuhkan angggaran sampai milyaran rupiah, tenaga dan persiapan yang begitu lama tersebut seperti apa yang tersirat diatas,. Maka tak salah jika UN dianggap sebagai upaya yang sia-sia, karena hanya menghabiskan waktu, dana dan tenaga semua pihak.
                                                                       ***
      Mohammad Nuh (Mendiknas), dalam Koran Jawa Pos, terbitan Senin 20 Desember, Halaman Utama menyatakan, UN 2011 tetep akan dilaksanakn namun dalam bentuk formula baru yang tentunya memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan konsep pelaksanaan UN sebelumnya. Dalam media yang sama, Nuh juga mengatakan bahwa kelulusan peserta didik diserahkan sepenuhnya pada satuan pendidik tempat siswa belejar. Dalam menentukan kelulusan satuan pendidik harus menjadikan empat hal sebagai indikator lulus atau tidaknya peserta didik. Pertama, siswa telah menyelesaikan seluruh program pendidikan. kedua, totalitas moral dan akhlak. Ketiga, siswa lulus Ujian Sekolah dan yang terakhir, sisiwa lulus Ujian Nasional.
       Formula baru yang dirumuskan melalui rapat panitia UN dan Kementrian pendidkan Negara Indonesia, seakan telah menjadi jawaban atas gugatan masyarakat yang mempertanyakan efektifitas UN selama ini, memburamkan wacana negatif UN yang selama ini terdengar riuh ditelinga dan menumbuhkan wacana baru dalam catur jangka pendidikan bangsa, yang tentunya kita harapkan bisa lebih baik.
       Kini, UN tidak lagi menjadi momok yang menakutkan yang kerap membekaskan depresi dan trouma bagi anak bangsa. Pemerintah Indonesia mulai bisa membuka mata akan relaitas UN selama ini. Lentera pendidikan Indonesia akan segera dipetik, cahayanya akan menyeruak keseluruh seantero pertiwi. Senyum sungging anak bangsa kembali merekah setelah pembungkaman. Anak bangsapun berteriak “terimakasih bapak Presiden, terimakasih Mendiknas, UN 2011 siap kami songsong. Wallahua’lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar